Pemerintah Didesak Sosialisasikan Aturan Hukuman Kebiri

Reporter

Minggu, 14 Februari 2016 22:42 WIB

Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, berbicara kepada wartawan di Dermaga Wijaya Pura, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu, 25 Maret 2015. TEMPO/Aris Andrianto

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengingatkan agar pemerintah segera mensosialisasikan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Hukuman Kebiri. “Presiden sudah menyatakan sepakat pemberian hukuman kebiri bagi predator anak,” katanya saat dihubungi Ahad 14 Februari 2016.

Arist, yang mengaku mengikuti pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Hukuman Kebiri dalam rapat terbatas pembahasan Perpu itu pada 20 Januari lalu, mengatakan Presiden Joko Widodo meminta Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani segera mensosialisasikan aturan itu pada awal Februari ini.

Menurut Arist, aturan ini sudah diusulkan sejak 2013 dengan harapan hukuman kebiri bisa memberikan efek jera kepada para predator anak. Ia mengatakan bahwa hukuman kebiri hanya diberikan kepada predator anak yang menghilangkan nyawa anak yang berawal kekerasan seksual. “Indonesia sudah darurat kejahatan seksual sehingga sangat membutuhkan aturan itu,” kata Arist.

Arist mengatakan selama ini para predator anak hanya diberikan hukuman pidana biasa. Dengan adanya hukuman kebiri, para predator bisa diganjar dengan pemberian hukuman pidana biasa ditambah dengan hukuman kebiri dengan menyuntikan zat kimia ke dalam tubuh. “Kejahatan yang dilakukanpredator anak ini bukan pidana biasa, tapi sudah luar biasa,” katanya.

Hukuman kebiri, kata Arist sudah dilakukan di beberapa negara, seperti Korea Selatan, Polandia, Rumania dan Inggris. Mereka pun memberikan hukum kebiri kepada predator yang telah menghilangkan nyawa anak yang berawal dari kekerasan seksual. “Bukan predator kekerasan seksual biasa,” katanya.

Berbeda dengan Arist, Ketua Komnas Perempuan Azriana meminta agar hukuman kebiri yang rencananya diatur dalam Perpu itu ditinjau ulang. Komnas Perempuan memiliki 8 alasan mengapa hukuman itu dianggapnya kurang tepat.

Beberapa alasannya adalah karena hukuman kebiri akan mencabut hak seksual manusia sebagai hak dasar reproduksi. Komnas perempuan menganggap hukuman kebiri membuat disabilitas seksual bagi warganya. Alasan lain adalah tindakan hukuman kebiri adalah sterilisasi paksa. "Sterilisasi paksa adalah satu kejahatan yang masuk dalam kejahatan kemanusiaan. " katanya dalam keterangan pers.

Selain itu beberapa pelaku kekerasan seksual adalah anak anak. Dikhawatirkan dengan adanya aturan hukuman kebiri itu, pelaku kejahatan yang juga masih anak anak akan mendapatkan hukuman kebiri. “Apakah negara akan melindungi anak dengan mengebiri anak lain?” katanya.

MITRA TARIGAN


Berita terkait

10 Perilaku Pasangan yang Merendahkan Anda dan Hubungan, Jangan Ditoleransi

40 hari lalu

10 Perilaku Pasangan yang Merendahkan Anda dan Hubungan, Jangan Ditoleransi

Anda sering terluka atau mempertanyakan harga diri. Berikut perilaku pasangan yang menjadi sinyal Anda harus bersikap tegas dalam hubungan.

Baca Selengkapnya

Tanggapan Pihak Johnny Depp atas Tuduhan Pelecehan Verbal dari Lawan Mainnya

42 hari lalu

Tanggapan Pihak Johnny Depp atas Tuduhan Pelecehan Verbal dari Lawan Mainnya

Tanggapan Johnny Depp setelah dituduh melakukan pelecehan verbal terhadap lawan mainnya di lokasi syuting film Blow yang dirilis 23 tahun lalu.

Baca Selengkapnya

Mantan Produser Nickelodeon Minta Maaf Atas Perilakunya yang Diungkap Serial Quiet On Set

44 hari lalu

Mantan Produser Nickelodeon Minta Maaf Atas Perilakunya yang Diungkap Serial Quiet On Set

Mantan Produser Nickelodeon, Dan Schneider terseret kasus pelecehan, seksisme, rasisme, dan perlakuan tidak pantas terhadap artis cilik.

Baca Selengkapnya

Fakultas Filsafat UGM Dalami Dugaan Kekerasan Seksual Mahasiswa dengan Korban 8 Orang

45 hari lalu

Fakultas Filsafat UGM Dalami Dugaan Kekerasan Seksual Mahasiswa dengan Korban 8 Orang

Fakultas Filsafat UGM menunggu laporan dari para korban untuk penanganan yang lebih tepat dan cepat.

Baca Selengkapnya

Kilas Balik Kasus Pungli di Rutan KPK, Terbongkarnya Diawali Kejadian Pelecehan Seksual

47 hari lalu

Kilas Balik Kasus Pungli di Rutan KPK, Terbongkarnya Diawali Kejadian Pelecehan Seksual

KPK telah menetapkan 15 tersangka kasus pungutan liar di rumah tahanan KPK. Berikut kilas baliknya, diawali kejadian pelecehan seksual.

Baca Selengkapnya

Dugaan Pelecehan oleh Rektor Universitas Pancasila, Polisi Periksa 15 Saksi

58 hari lalu

Dugaan Pelecehan oleh Rektor Universitas Pancasila, Polisi Periksa 15 Saksi

Rektor Universitas Pancasila nonaktif Edie Toet Hendratno dilaporkan dua orang atas dugaan pelecehan

Baca Selengkapnya

Dugaan Pelecehan Seksual Oleh Dokter di Palembang, Pelapor akan Serahkan Barang Bukti

1 Maret 2024

Dugaan Pelecehan Seksual Oleh Dokter di Palembang, Pelapor akan Serahkan Barang Bukti

Perkara dugaan pelecehan seksual oleh dokter di salah satu rumah sakit di Jakabaring, Palembang, terus bergulir di Polda Sumatera Selatan

Baca Selengkapnya

Datangi Polda, Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Bantah Lakukan Pelecehan Seksual

29 Februari 2024

Datangi Polda, Rektor Universitas Pancasila Edie Toet Bantah Lakukan Pelecehan Seksual

Rektor Universitas Pancasila nonaktif, Edie Toet Hendratno, 72 tahun, memenuhi panggilan polisi untuk diperiksa di kasus dugaan pelecehan seksual

Baca Selengkapnya

Rektor Universitas Pancasila Diperiksa Hari Ini, Korban Bantah Ada Motif Politik

29 Februari 2024

Rektor Universitas Pancasila Diperiksa Hari Ini, Korban Bantah Ada Motif Politik

Pengacara rektor Universitas Pancasila menuding ada motif politik karena isu pelecehan seksual ini mencuat jelang pemilihan rektor.

Baca Selengkapnya

Yayasan Minta Rektor Universitas Pancasila Kooperatif Jalani Proses di Polisi soal Dugaan Pelecehan

27 Februari 2024

Yayasan Minta Rektor Universitas Pancasila Kooperatif Jalani Proses di Polisi soal Dugaan Pelecehan

Yayasan Universitas Pancasila meminta rektor nonaktif ETH kooperatif menjalani proses di kepolisian dalam kasus dugaan pelecehan seksual

Baca Selengkapnya