Kisah Penderita Kanker Payudara yang Mendadak Tak Takut Mati
Editor
Bobby Chandra
Minggu, 1 November 2015 04:24 WIB
TEMPO.CO , Surabaya: Endri Kurniawati mengatakan usai operasi kanker payudara ia mengalami ketakutan luar biasa terhadap kematian. Namun, ketakutan itu kemudian lambat laun sirna saat suatu hari, Direktur Utama Tempo, Bambang Harymurti, mengirimkan buku tentang pasien kanker yang berkelana ke dalam kehidupan setelah kematian saat koma.
Kehidupan itu, kata Endri, digambarkan indah. "Cerita itu seketika melenyapkan ketakutan saya. Saya mendadak enggak takut mati," kata Endri saat peluncuran memoar pengalamannya menghadapi kanker payudara. Buku berjudul "Kehidupan Kedua; Memoar Penyintas Kanker" itu dibedah dalam diskusi di rumah HOS Tjokroaminoto Surabaya, Sabtu, 31 Oktober 2015.
BACA JUGA
TERUNGKAP: Ini Detik-detik Arzetti-Dandim Kepergok di Hotel
Gempa Besar Diam-diam Intai Jakarta
Sebelum divonis kanker pada 2012, Endri menjalani profesi sebagai wartawan Tempo di Jakarta dengan hidup berwarna. Ia mengaku pembosan, sehingga selain menulis berita, ia menikmati bisnis batik, beternak sapi, dan bermain saham. "Saya bahkan dijuluki wartawan Tempo paling sehat, karena menjaga makanan dan berolahraga rutin 4-5 kali sepekan."
Meski rajin berolahraga dan menikmati hidup, ia mengalami perubahan dalam tubuh seperti letih berkepanjangan, lambung radang, yang membuatnya kerap keluar-masuk rumah sakit. Suatu hari, ia menemukan benjolan di dada kanan sebesar seruas jari ketika mandi. Hasil pemeriksaan rumah sakit kawasan Jakarta Barat, menunjukkan benjolan itu kanker stadium 2A.
"Hidup saya seperti berhenti," ujar Endri. Walaupun syok, ia berusaha menerimanya sebagai jatah dari Tuhan. Dalam kebingungan dan kehilangan kepercayaan terhadap masa depan, Endri berusaha berpikir jernih. "Saya mencari opini kedua kepada dokter di Surabaya. Dokter kedua terap menyatakan saya mengidap kanker pada payudara kanan."
BACA JUGA
Ada Jokowi, Tiba-tiba Terdengar Braak, Lantai Sekolah Itu...
Bertemu Jokowi, Ini Curhat Suku Anak Dalam
Keputusan operasi ia ambil, meski Endri mengakui hal itu bukan keputusan mudah. "Karena operasi kan menghilangkan sebagian dari identitas perempuan yakni payudara dan hanya perempuan yang punya itu. Tapi buat apa saya mempertahankan punya payudara dan tampil seksi tapi lalu nanti percuma kalau umur saya pendek," katanya. Operasi dilakukan 3 pekan setelah putusan penyakit kanker tersebut.
Setelah menjalani operasi, Endri menemukan warna sebagai self yang membuatnya menemukan kesenangan. "Saya buka-buka batik cuma untuk melihat warnanya, celana dalam. Padahal saya dulu suka warna-warna gelap. Karena warna-warna tua menyeret saya ke hal-hal yang murung, pesimis, dan gundah. Saya simpan semua lalu mengganti apapun yang berwarna."
Sedikit demi sedikit Endri memperbaiki psikis dan mulai bekerja lagi. Sekarang ia sudah agak membaik, Meskipun ia baru percaya rencana jangka pendek. "Inilah kehidupan kedua saya, menjalani sisa kehidupan yang diberikan dengan sebaik-baiknya," ujarnya. Dukungan keluarga dan teman-temannya membantunya menjalani memulihkan kondisi psikis.
Sejumlah koleganya melihat perbedaan dari penampilan Endri pascaoperasi. "Saya mengenal Mbak Endri sejak 2-3 tahun yang lalu. Tapi wajahnya tidak sesegar sekarang," kata Agita Sukma, moderator ketika membuka diskusi bedah buku itu. "Kala itu Endri mengenakan wig dan tak banyak menceritakan penyakitnya."
ARTIKA RACHMI FARMITA
BERITA MENARIK
Politikus PDIP Terus Hantam Menteri Rini Soemarno
Liverpool Bisa Sulitkan Chelsea, Rekor: Klopp 2, Mourinho 1