Ketum Golkar Munas Bali, Aburizal Bakrie bersama Sekjen Idrus Marham, saat akan melaksanakan tabur bunga dan ziarah, di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta, 20 Oktober 2015. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka memperingati HUT ke-51 Tahun Partai Golkar. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya kubu Aburizal Bakrie menolak agenda pembentukan musyawarah luar biasa. Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menilai opsi itu berpotensi melahirkan konflik baru.
"Akan muncul kelompok-kelompok baru untuk memperebutkan posisi puncak struktur kepengurusan partai," katanya, Selasa, 27 Oktober 2015.
Wacana munaslub digulirkan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar kubu Agung Laksono pasca-putusan kasasi yang membatalkan surat keputusan kepengurusan Musyawarah Nasional Golkar di Jakarta yang digelar kubu Agung Laksono oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Agenda itu diharapkan menjadi ajang rekonsiliasi dengan kepengurusan Munas Bali, yang melahirkan kepemimpinan Aburizal Bakrie.
Menurut Bambang, usulan munaslub hanya akan merusak kembali pondasi Partai Golkar akibat dualisme kepengurusan. Elite Golkar mestinya tak terjebak dengan agenda itu karena bisa berakibat buruk bagi agenda partai. "Alih-alih mewujudkan soliditas partai, forum munaslub justru bisa memperlemah Golkar dalam menghadapi pemilihan kepala daerah serentak," ucapnya.
Kalaupun ada kebutuhan membentuk kepengurusan baru, Bambang berpendapat, mekanisme itu cukup dilakukan lewat forum musyawarah mufakat. "Perubahan kepengurusan DPP Golkar cukup dilakukan melalui forum urun rembuk atau musyawarah mufakat, bukan munaslub, karena memang tidak ada urgensinya sama sekali," ujar anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat itu.