Surat Terakhir Adnan Buyung untuk Anak-Anak Indonesia
Editor
Widiarsi Agustina
Jumat, 25 September 2015 21:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Adnan Buyung Nasution, pengacara senior telah berpulang Rabu 23 September 2015. Ia meninggalkan sejumlah kenangan, dan warisan bagi banyak kalangan, terutama bagi negeri ini. Banyak hal dilakukan selama lima tahun terakhir, termasuk menuliskan sepucuk surat terakhir, untuk generasi Indonesia mendatang.
Surat terakhir Adnan Buyung ini ditulis tahun 2012, dan dikumpulkan TempoInstitute Indonesia untuk program Menjadi Indonesia. Surat terakhir Adnan Buyung, menjadi satu dari 120 tokoh dari berbagai bidang dan terkumpul dalam "Surat dari dan untuk Pemimpin."
Berikut ini isi suratnya:
Anak-anak Indonesia yang Abang cintai dan banggakan,
Kita mungkin tidak pernah saling bertatap muka dan barangkali sebagian besar dari kalian ketika membaca surat ini baru pertama kalinya mengenal nama Adnan Buyung Nasution.
Kita bisa jadi hidup di masa yang sama dan tempat yang berdekatan, atau hidup di masa yang sama sekali berbeda dan tempat yang berjarak: di kota-kota, dusun-dusun, pulau-pulau yang terbentang di nusantara, atau bahkan nun jauh di negeri orang.
Tapi Abang sangat yakin bahwa waktu dan jarak itu bukanlah pemisah, karena kita telah dieratkan di dalam satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan satu bahasa Indonesia, sebagaiman yang telah dikrarkan para pejuang pendahulu kita melalui Sumpah Pemuda.
Kesadaran Abang mengenai ikatan kebangsaan itu sudah muncul sejak masa kanak-kanak di Yogyakarta, pada zaman revolusi kemerdekaan. Kondisi di masa itu tentu sangat jauh berbeda dengan suasana Abad ke-21 kini, ketika teknologi semakin canggih sehingga informasi pun menjadi sangat mudah diakses.
Pengetahuan Abang lebih banyak bersumber dari kisah-kisah yang dituturkan Ayah. Profesi beliau sebagai jurnalis dan keterlibatannya dalam kelompok kaum pejuang pergerakan kemerdekaan (kaum Republiken), sehingga Ayah kerap melakukan perjalanan tugas ke berbagai daerah dan berjumpa dengan para tokoh-tokoh pejuang yang berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia, dan juga orang-orang dari bangsa lain.
Lanjutan isi suratnya
<!--more-->
Dari berbagai kisah dari pengalaman Ayah itu, Abang mendapatkan suatu pemahaman bahwa kita adalah bangsa besar, namun karena belum sepenuhnya terbebas dari cengkraman kolonialisme, maka rakyat kita masih terbelakang, diperlakukan secara tidak adil, dan amat menderita karena tidak mendapatkan penghormatan dan perlakuan yang setara sebagaimana layaknya bangsa-bangsa bermartabat lainnya.
Ketika beranjak dewasa, Abang merasa sangat beruntung dan bersyukur karena berkesempatan menikmati suasana di alam kemerdekaan yang membuka kesempatan bagi anak-anak bangsa untuk dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kesempatan itu sebelumnya amatlah langka karena hanya menjadi privilese bagi golongan keturunan Eropa dan Timur Asing.
Abang memutuskan untuk mendalami ilmu hukum dengan harapan dapat memperjuangkan tegaknya hukum dan keadilan di negeri ini. Ketika telah menjadi Jaksa dan kerap bertugas di daerah-daerah pinggiran dan luar Jakarta, Abang menyaksikan secara langsung sehingga dapat juga merasakan penderitaan rakyat kecil yang papa ketika ditimpa musibah hukum.
Dari situ Abang semakin menyadari bahwa sebagian besar bangsa kita ternyata belum kunjung dapat menikmati manisnya kemerdekaan, tetap terpinggirkan, terus diperlakukan secara diskriminatif, sehingga kehidupannya amat menderita.
Ketika mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan hukum di Australia, Abang memanfaatkan peluang itu sekaligus untuk mempelajari mekanisme bantuan hukum terhadap rakyat miskin (legal aid for the poor). Sekembalinya ke tanah air, Abang lalu menerapkan ilmu dan pengetahuan itu dengan membidani kelahiran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang mulanya hanya di Jakarta dan kemudian berkembang ke berbagai kota-kota lainnya. LBH didirikan sebagai suatu organisasi non-profit, namun bukanlah suatu charitable organization yang sekedar menyediakan bantuan hukum gratis (pro bono services) pada rakyat yang tidak mampu.
Lebih dari itu, LBH memiliki strategi bantuan hukum struktural yang berangkat dari pengetahuan dan kesadaran bahwa berbagai permasalahan hukum yang menimpa rakyat kecil terutama disebabkan oleh ketimpangan bangunan sosial di dalam masyarakat kita yang masih feodalistik, serta terutama juga disebabkan oleh sistem otoritarianisme yang korup dan sewenang-wenang. Oleh karena itu, LBH mencoba untuk mendobrak bangunan sistem sosial tersebut sembari terus memberikan pemahaman pada rakyat kita yang sebagian besar masih belum terpelajar dan buta hukum.
Upaya tersebut selain tidaklah mudah, bahkan mengandung risiko. Namun tekad dan komitmen aktivis LBH untuk memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia sudah bulat dan kokoh sehingga tiada gentar meski harus berhadapan dengan penguasa, tak surut langkah walau kerap menghadapi ancaman dan teror, juga tidak melemah oleh bujuk rayuan.
Kemerdekaan Abang direnggut ketika dimasukkan ke dalam penjara. Abang kemudian juga terpaksa harus meninggalkan negeri tercinta untuk bermukim di tanah Belanda. Namun hikmahnya pun tiba, karena Abang di sana memiliki waktu dan kesempatan untuk mempelajari seluk beluk sistem ketatanegaraan kita, hingga akhirnya berhasil menempuh studi doktoral.
Lanjutan isi suratnya
<!--more-->
Anak-anak Indonesia yang Abang cintai dan banggakan,
Zaman terus berubah. Tidak ada sesuatupun yang tetap dan mutlak kecuali perubahan itu sendiri. Tantangan bangsa ini di masa lalu tentu berbeda dengan di masa yang sekarang dan akan datang. Setiap generasi di bangsa ini berhak untuk membuat terobosan-terobosan baru demi mewujudkan kehidupan dan masa depan bangsa yang lebih baik lagi.
Ide ataupun gagasan pembaharuan seringkali mendapatkan resistensi. Namun niat yang tulus dengan tekad yang kuat serta argumentasi yang rasional akan sulit diabaikan atau ditolak begitu saja. Namun demikian, pengalaman Abang membuktikan bahwa mewujudkan ide dan gagasan juga amat memerlukan determinasi yang kuat, juga persistensi.
Meski Ide dan gagasan itu pada hari ini atau esok dianggap sebagai suatu yang subversif, mungkin lusa dan di kelak kemudian hari justru akan menjadi kebutuhan bagi bangsa dan negara kita. Hal itulah yang senantiasa Abang percayai dan menjadi keyakinan dan motivasi ketika Abang sejak awal menolak sakralisasi UUD 1945 dan mengusulkan ide amandemen konstitusi.
Kontestasi ide dan nilai-nilai tentu akan terus berlangsung sebab bangsa kita ini sungguh sangat beragam. Pertarungan wacana dan adu gagasan itu tentu harus dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat sebagaimana ditauladankan oleh ibu dan bapak pendiri republik.
Ambisi pribadi atau golongan sebisa mungkin disisihkan, sebagaimana dipesankan oleh Bung Hatta, kepentingan semuanya harus didahulukan daripada kepentingan sebagian-sebagian. Dengan demikian, menjadi Indonesia adalah menjadi manusia yang mampu menempatkan diri sebagai bagian dari keberagaman bangsa ini, tanpa berupaya apalagi memaksakan suatu penyeragaman, dengan menahan diri untuk tidak merasa paling berhak atau paling benar.
Jakarta, 8 Agustus 2012,
Prof. Dr. Adnan Buyung Nasution
BACA JUGA
Duh, Syahrini Sandingkan Foto 'Pacar'-nya dengan Sapi Kurban
Bos Mafia Cantik & Keji Ditangkap Usai Dikhianati Sang Pacar