Dikirimi Surat Kaleng, Jaksa Kawal Pejabat Daerah
Editor
Dewi Rina Cahyani
Selasa, 22 September 2015 20:46 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Jaksa Agung M Prasetyo mengatakan, sengaja menerbitkan Keputusan dan Instruksi pembentukan Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan atau TP4 untuk mendampingi pejabat pusat dan daerah untuk mengurangi kekhawatiran kriminalisasi. “Akan dibentuk di pusat dan daerah, ini saya pikir akan menjawab keraguan, kekhawatiran pejabat ketika melaksanakan tugas pembangunan di daerahnya masing-masing,” kata dia di Bandung, Selasa, 22 September 2015.
Prasetyo mengatakan, tim yang beranggotakan jaksa itu akan mendapat tugas melakukan pendampingan pejabat pemerintah pusat dan daerah saat melaksanakan program pembangunan. “Di situ menitikberatkan pada upaya pencegahan,” kata dia. “Bentuknya adalah melakukan pendampingan dari awal, pada saat pelaksanaan, dan juga akhir program pembangunan yang diselenggarakan.”
Dia mengklaim, tim itu nantinya akan membantu institusinya memilah laporan surat kaleng karena sejak awal sudah ada jaksa yang mendampingi pejabat tersebut. “Dengan adanya TP4 itu surat kaleng bisa dipilah. Surat kaleng itu laporan masyarakat harus dipilah juga selama ini meresponnya dengan minta keterangan dan klarifikasi,” kata Prasetyo.
Prasetyo mengatakan, TP4 akan memudahkan jaksa memilih laporan surat kaleng yang diterima. “Dengan TP4 ini sejak awal sudah tahu benar gak ini surat kaleng, atau sampah. Jadi gak semuanya ditelan mentah-mentah,” kata dia.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan sengaja memboyong Kapolri dan Jaksa Agung besama sejumlah menteri untuk membahas percepatan penyerapan anggaran untuk menekan pelambatan ekonomi. “Kita memberikan penjelasan mengenai masalah penyerapan anggaran dan menerima keluhan dari pimpinan daerah, apa-apa yang harus diperbaiki,” kata dia di Bandung, Selasa, 22 September 2015.
Luhut berharap, dengan mengurangi ketakutan kepala daerah itu bisa mendorong percepatan peyerapan anggaran yang salah satunya disebabkan ketakutan berurusan dengan aparat penegak hukum.”Ini salah satu ‘debotlenecking ‘ masalah hukum, ini kita harus lakukan,” kata dia.
Dia menepis anggapan kebijakan itu sebagai perlindungan bagi pejabat negara. “Kita tidak mengatakan membenarkan korupsi, tapi meluruskan hal-hal yang perlu diluruskan, karena itu tidak membawa kebaikan kita semua,” kata Luhut.
Luhut bersama sejumlah menteri sengaja mengumpulkan bupati/walikota Jawa Barat di Kantor Bappeda Jawa Barat, di Bandung, Selasa, 22 September 2015, untuk membahas percepatan penyerapan anggaran. Hadir dalam pertemuan itu Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, serta Jaksa Agung M Prasetyo.
Di pertemuan itu, Walikota Bogor Arya Bima Sugiarto misalnya mengeluhkan soal surat kaleng yang bikin gaduh. Dia mengklaim, soal itu menjadi keluhan rekannya sesama kepala daerah. “Ketika surat kaleng dari ormas, LSM, kekuatan politik yang tidak jelas ini dijadikan referensi dan kemudian menimbulkan kegaduhan,” kata dia di pertemuan itu, Selasa, 22 September 2015.
Bima mengatakan, jika datanya valid tidak jadi soal. “Ketika data itu simpang siur, dan ditelusuri kemudian merembet kemana-mana, padahal sumber laporannya tidak jelas,” kata dia. “Kita tidak anti kritik, tapi kita semua punya pengalaman, ketika kasus yang semestinay tidak mendapat proporsi besar, dibesar-besarkan sehingga menimbulkan kegaduhan politik dan melebar kemana-mana. Pembangunan tidak berjalan.”
Dia mengaku, sempat dipanggil jaksa karena satu kasus. “Saya minggu lalu diperiksa kejaksaan karena satu kasus, dan memang kata orang kalau tidak salah tidak usah takut. Tapi banyak yang membisiki saya, jaman sekarang kesalahan bisa dicari-cari,” kata Bima.
Bima mengaku, soal serupa membuat anak buahnya ketakutan. Dia mencontohkan, bantuan DKI Rp 18 miliar tidak berani dijalankan karena takut. “Tahun lalu sedikit-sedikit dipanggil, bahkan Kadis berkukuh pada saya, kita tidak berani, betul-betul tidak dijalankan,” kata dia. Anak buahnya berkeras meminta agar bantuan yang diberikan langsung berupa barang.
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil juga mengeluhkan soal senada. “Orang-orang dengki pasti ada, LSM itu problem kami di daerah. Dan pekerjaan mereka mencari nafkah dengan membuat laporan, demonya pun kebanyakan dibayar oleh orang-orang yang mencari kesalahan tadi,” kata dia di pertemuan itu, Selasa, 22 September 2015.
Emil, sapaan Ridwan Kamil mengatakan, terkesan kesalahan sengaja dicari-cari. “Kalau a gak dapat, jangan-jangan salahnya b, mungkin c, cari aja Pak kali-kali ada di huruf x salahnya. Situasi ini tidak membuat nyaman kepada kami,” kata dia.
Dia mencontohkan, camatnya kini stres gara-gara bolak-balik dipanggil aparat penegak hukum untuk dimintai klarifikasi karena melakukan penunjukan langsung pembuatan spanduk untuk Konferensi Asia-Afrika yang nilainya Rp 30 juta. “Ada yang melaporkan kenapa toko a,bukan toko b atau c, ada apa dibalik belanja spanduk? Sesederhana itu camat-camat saya stres, padahal sudah sesuai prosedur, tidak seberapa dan di situasi yang khusus sampai harus dipanggil aparat penegak hukum untuk dilakukan klarifikasi,” kata Emil.
Emil mengeluhkan, aparat penegak hukum yang tidak memilah-milah laporan yang diterimanya. “Yang begini dikalikan jumlahnya banyak itu yang menghantui pelambatan belanja. Yang terjadi sekarang tidak mau ada yang jadi KPA, pejabat pemegang proyek,” kata dia.
Situasi itu menjadi rumit dengan menghadapi prosedur birokrasi yang membuat lambat. Dua tua tahun genap memimpin Kota Bandung, Emil mengaku, banyak berbenturan dengan prosedur birokrasi yang rumit. “Saya dulu datang dari dunia swasta untuk hal yang sama saya bisa beres seminggu, di pemerintahan bisa enam bulan untuk beres. Bukan hasilnya, tapi prosedurnya itu. Saya berkesimpulan ini yang membuat Indonesia sudah mengejar negeri lain karen diperumit oleh peraturan yang dibuat sendiri. Sementara kami dituntut untuk cepat dan berinovasi,” kata dia.
Menurut Emil, inovasi berupa perlindungan hukum seperti yang dialaminya saat menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika yang dibutuhkan. Saat itu 20 pekerjaan yang biasanya rampung dalam dua tahun, bisa dikebut dua bulan. “KAA itu bisa cepat karena dari pemerintah pusat melindungi kami, kami dilindungi BPKP, kejaksaan, kepolisian. Untuk meyakinkan saya ada legal opinion dari Kejaksaan Negeri,” kata dia.
AHMAD FIKRI