Indonesia Update 2015 Bahas Isu Tanah dan Pembangunan
Senin, 21 September 2015 08:44 WIB
TEMPO.CO, Canberra - Indonesia Update, konferensi tahunan para Indonesianis di Australian National University (ANU), Canberra, tahun ini membahas isu tanah dan pembangunan pada periode awal pemerintah Presiden Joko Widodo. Konferensi dua hari yang dihadiri lebih dari seratus pengamat dan pakar Indonesia dari seluruh dunia ini, sudah digelar sejak 1983, dan konferensi tahun ini berakhir pada Sabtu, 19 September 2015.
Sebagaimana dirilis situs New Mandala, tema tahun ini dipilih karena Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan angka kemiskinan dan jumlah anak kurang gizi (malnutrisi) yang cukup tinggi. Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa, Food and Agricultural Organization (FAO), mencatat penduduk Indonesia yang hidup dengan kondisi kurang gizi masih 19,4 juta jiwa. Akibatnya, menurut data lembaga perlindungan dan kesejahteraan anak di PBB (Unicef), ada 37 persen anak Indonesia yang kini tercatat menderita stunting (perlambatan pertumbuhan).
John McCarthy bersama profesor antropologi Kathryn Robinson, yang memimpin konferensi tahun ini, menulis di New Mandala tentang pentingnya pembahasan tanah dan pembangunan di Indonesia, dalam konteks penegakan kedaulatan rakyat. "Setelah terpilih, Presiden Jokowi mengumumkan rencananya untuk mengatasi masalah pangan, tanah, dan pertanian di Indonesia," tulis McCarthy.
Di bawah Jokowi, kata professor di ANU Crawford School of Public Policy ini, Indonesia bertekad untuk menjadi mandiri dalam penyediaan pangan. Untuk itu, pemerintah kemudian merencanakan berbagai pembangunan infrastruktur seperti membuka lahan pertanian baru, memperbaiki irigasi, dan membagikan bibit unggul maupun peralatan pertanian.
McCarthy menegaskan bahwa ada kesan mencapai swasembada beras merupakan suatu kebanggaan nasional di Indonesia. Karena itulah, mengimpor beras selalu berpotensi menimbulkan suatu masalah politik bagi presiden. Namun, ketika keran impor ditutup, harga barang-barang di pasar cenderung naik.
"Para pengambil kebijakan harus punya alasan yang bagus ketika memutuskan arah mereka. Apakah semua kebijakan perlu diarahkan untuk mencapai swasembada, apa pun harga yang harus dibayar? Atau diarahkan pada penguatan akses kaum miskin pada ketersediaan pangan? Atau pada penguatan jaminan hukum untuk petani pedesaan agar bisa memiliki lahan dan memiliki kemampuan menghasilkan pangan secara mandiri? "Tidak mudah untuk mencapai semua prioritas itu secara bersamaan," tulis McCarthy.
Karena itulah, McCarthy mengibaratkan persoalan kebijakan pangan di Indonesia seperti buah simalakama: dimakan ayah mati, tidak dimakan ibu mati. "Apa pun prioritas kebijakan yang dipilih pemerintah, ada risiko yang harus dibayar."
Dilema inilah yang terjadi di Kalimantan, ketika pemerintah mengembangkan kawasan pertanian terpadu--atau food estate--untuk memenuhi kebutuhan pangan Indonesia. Pengadaan lahan untuk kawasan pertanian itu tidak mudah karena ada warga yang sudah bertahun-tahun hidup di sana dan mengklaim kepemilikan adat, meski tak punya sertifikat.
Terlebih sebagian besar tanah yang ada sudah dialokasikan untuk kebutuhan perkebunan kelapa sawit dan tambang. Walhasil, pertanian terpadu hanya bisa dibangun di kawasan gambut pinggiran (marginal peatlands) yang sebenarnya tak ideal untuk produksi padi.
"Jika dibantu pemerintah, petani skala kecil (small holder farmers) sebenarnya punya kemampuan untuk meningkatkan produksi di tanah sendiri (intensifikasi), namun belakangan ini dinas-dinas pertanian tak punya lagi kemampuan dan anggaran seperti di era Orde Baru," tulis McCarthy.
Kebijakan pangan tidak cuma soal meningkatkan produksi padi. Pemerintah juga dituntut untuk membantu kaum miskin memperoleh akses pada makanan. Laporan Program Millenium PBB menegaskan bahwa "untuk kebanyakan kaum miskin, akses pada tanah adalah prakondisi untuk meningkatkan standar kehidupan mereka jadi lebih baik."
Di sisi lain, pembangunan besar-besaran perkebunan kelapa sawit mengorbankan banyak lahan hutan produksi di Kalimantan. Kehilangan hutan ini membuat para petani tadah hujan berisiko mengalami gagal panen akibat perubahan iklim. Kekeringan berkepanjangan akibat El Nino seperti yang diprediksi tahun ini membuat risiko itu makin besar.
Perubahan hutan menjadi kelapa sawit juga membuat petani kehilangan akses pada hutan yang sebelumnya menyediakan pendapatan tambahan buat mereka. Walhasil, perkebunan kelapa sawit justru menimbulkan kemiskinan dan ketidaksetaraan. Konflik tanah juga muncul sebagai akibat ekspansi besar-besaran kebun sawit.
Persoalan tanah di Indonesia juga menyentuh masalah redistribusi lahan. Presiden Jokowi sudah berjanji untuk mengakui dan menghormati hak masyarakat adat. "Ada rencana untuk mendistribusikan 12 juta hektare tanah untuk masyarakat adat," kata McCarthy.
WAHYU | NEW MANDALA