Kebakaran Hutan, Pemerintah Diminta Perhatikan Lahan Gambut

Reporter

Editor

Zed abidien

Kamis, 10 September 2015 15:55 WIB

Perkebunan kelapa sawit dan permukiman terlihat dari udara di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, 29 April 2015. Hasil penelitian terbaru Walhi menunjukkan lahan gambut seluas 914.067 hektare hilang dalam tiga tahun selama kebijakan moratorium kehutanan di Indonesia. ANTARA/FB Anggoro

TEMPO.CO, Jakarta - Kabut asap yang melanda kawasan Sumatera dan Kalimantan selama beberapa pekan terakhir belum juga berhenti. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat terdapat sepuluh perusahaan yang diduga terlibat dalam pembakaran hutan.

"Sebenarnya jumlahnya lebih dari itu," komentar Teguh Surya, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, di Jakarta, Kamis, 10 September 2015.

Greenpeace meminta pemerintah supaya menyelesaikan akar masalahnya. Caranya dengan tidak menyelesaikan hal tersebut secara reaktif, melainkan preventif, yakni memperhatikan korelasi antara laju deforestasi (penggundulan hutan), kondisi lahan gambut, dan kebakaran hutan di Indonesia.

Sebab, sebelumnya, pemberitaan yang ada justru menyebutkan komitmen pemerintah, dalam hal ini gubernur dan kepala kepolisian daerah di enam daerah yang terkena bencana kabut asap, untuk menyelesaikan masalah ini melalui empat langkah. Yakni melakukan hujan buatan dan pengeboman air, pemadaman darat, pelayanan kesehatan, dan sosialisasi.

"Kalau sudah terjadi bencana asap seperti ini, tentu tidak berhasil bila dilakukan pemadaman dengan air. Sebab, lahan gambut yang kering merupakan bahan efektif untuk kebakaran," kata Teguh. Ia menyebutkan kondisi lahan gambut yang kering pada kedalaman tertentu, seperti 6 meter, dapat menyimpan bara api selama berbulan-bulan yang berpotensi menyebabkan kebakaran lanjutan. "Dan itu bila belum terbakar pun suhunya sudah panas sekali, sekitar 60 derajat Celsius."

Karena itu, solusi paling baik menurut dia adalah menjaga supaya lahan gambut tetap basah. Pada musim penghujan, lahan gambut yang berair perlu disekat supaya air tidak keluar dan lahan tetap basah. Dengan demikian, hal ini akan meminimalkan lahan gambut menjadi kering dan berpotensi menyebabkan kebakaran. Cara ini pernah dilakukan pemerintah di Sungai Tohor, Riau, satu tahun lalu. Namun hal ini tidak direplikasi di tempat lain.

Menurut Teguh, tindakan preventif seperti ini perlu dilakukan mengingat urgensi masalah di Indonesia. Data Greenpeace mencatat, dalam kurun waktu hingga 7 September 2015 saja, titik api yang ada sebanyak 8.540 dan tersebar paling banyak di pesisir timur Sumatera serta Kalimantan.

INEZ CHRISTYASTUTI HAPSARI

Berita terkait

KKP Tangkap Kapal Alih Muatan Ikan Ilegal, Greenpeace Desak Pemerintah Hukum Pelaku dan Ratifikasi Konvensi ILO 188

1 hari lalu

KKP Tangkap Kapal Alih Muatan Ikan Ilegal, Greenpeace Desak Pemerintah Hukum Pelaku dan Ratifikasi Konvensi ILO 188

Greenpeace meminta KKP segera menghukum pelaku sekaligus mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Penangkapan Ikan.

Baca Selengkapnya

Greenpeace Apresiasi KKP Tangkap Kapal Transhipment dan Mendesak Usut Pemiliknya

2 hari lalu

Greenpeace Apresiasi KKP Tangkap Kapal Transhipment dan Mendesak Usut Pemiliknya

Greenpeace Indonesia mengapresiasi langkah KKP yang menangkap kapal ikan pelaku alih muatan (transhipment) di laut.

Baca Selengkapnya

Kepala OIKN Klaim Pembangunan IKN Bawa Manfaat untuk Semua Pihak, Bagaimana Faktanya?

17 hari lalu

Kepala OIKN Klaim Pembangunan IKN Bawa Manfaat untuk Semua Pihak, Bagaimana Faktanya?

Kepala Badan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Bambang Susantono klaim bahwa pembangunan IKN akan membawa manfaat bagi semua pihak.

Baca Selengkapnya

Penggemar K-Pop Minta Hyundai Mundur dari Investasi penggunaan PLTU di Kalimantan

22 hari lalu

Penggemar K-Pop Minta Hyundai Mundur dari Investasi penggunaan PLTU di Kalimantan

Penggemar K-Pop global dan Indonesia meminta Hyundai mundur dari investasi penggunaan PLTU di Kalimantan Utara.

Baca Selengkapnya

Terpopuler: Grab Evaluasi SOP Pelayanan Buntut Kasus Pemerasan, Pesawat Jet Pribadi Harvey Moeis untuk Sandra Dewi

30 hari lalu

Terpopuler: Grab Evaluasi SOP Pelayanan Buntut Kasus Pemerasan, Pesawat Jet Pribadi Harvey Moeis untuk Sandra Dewi

Terpopuler: Grab Indonesia evaluasi SOP pelayanan buntut kasus pemerasan, deretan barang mewah dari Harvey Moeis untuk artis Sandra Dewi.

Baca Selengkapnya

Komitmen Iklim Uni Eropa Dipertanyakan, Kredit Rp 4 Ribu Triliun Disebut Mengalir ke Perusak Lingkungan

32 hari lalu

Komitmen Iklim Uni Eropa Dipertanyakan, Kredit Rp 4 Ribu Triliun Disebut Mengalir ke Perusak Lingkungan

Sinarmas dan RGE disebut di antara korporasi penerima dana kredit dari Uni Eropa itu dalam laporan EU Bankrolling Ecosystem Destruction.

Baca Selengkapnya

Rp 19.842 triliun Kredit Global ke Grup Perusahaan Berisiko Iklim, Ada RGE dan Sinarmas

32 hari lalu

Rp 19.842 triliun Kredit Global ke Grup Perusahaan Berisiko Iklim, Ada RGE dan Sinarmas

Walhi dan Greenpeace Indonesia mengimbau lembaga keuangan tidak lagi mendanai peruhasaan yang terlibat perusakan lingkungan dan iklim.

Baca Selengkapnya

Pulau Balang Tidak Masuk IKN, Otorita Klaim Lebih mudah Jaga Dugong dan Pesut

33 hari lalu

Pulau Balang Tidak Masuk IKN, Otorita Klaim Lebih mudah Jaga Dugong dan Pesut

Tetap saja pembangunan IKN dinilai akan membuat tekanan terhadap habitat satwa liar. Dan bukan hanya dugong dan pesut, tapi 23 spesies.

Baca Selengkapnya

Kajian Peneliti BRIN Ihwal Kekeringan Ekstrem di Kalimantan, Greenpeace: Dipicu Deforestasi

39 hari lalu

Kajian Peneliti BRIN Ihwal Kekeringan Ekstrem di Kalimantan, Greenpeace: Dipicu Deforestasi

Wilayah yang paling terdampak risiko kekeringan ekstrem, adalah Ibu Kota Negara atau Nusantara.

Baca Selengkapnya

Kementan dan Kemenhan Klaim Panen Jagung Food Estate Gunung Mas

46 hari lalu

Kementan dan Kemenhan Klaim Panen Jagung Food Estate Gunung Mas

Kementerian Pertanian (Kementan) dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) klaim panen jagung di lahan food estate Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Baca Selengkapnya