Muhammad Arsyad, pelaku penghinaan terhadap Presiden Jokowi, tiba di rumahnya di Ciracas, Jakarta, 3 November 2014. Arsyad (24 tahun) dikeluarkan dari tahanan setelah mendapatkan penangguhan penahanan. TEMPO/Dasril Roszandi
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane mengatakan bahwa polisi akan menjadi pihak yang paling kerepotan jika pasal penghinaan terhadap presiden dihidupkan lagi. Saat memproses pengaduan, kepolisian berpotensi dituding sebagai alat presiden untuk mengkriminalkan para pengkritik.
"Sama seperti saat memproses pengaduan Sarpin, polisi dituding melakukan kriminalisasi terhadap Komisi Yudisial," kata Neta dalam keterangan tertulisnya, Ahad, 9 Agustus 2015. Neta menilai pasal penghinaan presiden tidak perlu dimasukkan kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Setidaknya, kata Neta, ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, pasal itu sudah dicabut Mahkamah Konstitusi. Kedua, posisi warga negara sama di depan hukum, sehingga presiden sangat tidak pantas diistimewakan secara hukum. Neta mengatakan bahwa memberikan keistimewaan hukum kepada presiden sama artinya melakukan diskriminasi terhadap rakyat dan hukum itu sendiri.
Selain itu, kata Neta, di dalam KUHP sudah ada pasal yang mengatur soal penghinaan dan pencemaran nama baik. "Jika merasa dihina, presiden bisa melapor ke polisi dengan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik, sama seperti yang dilakukan Sarpin."
Neta menilai bahwa dimunculkannya kembali pasal itu karena pemerintahan Jokowi saat ini sedang lemah. Padahal, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengusulkan pasal itu, banyak tokoh PDIP menentang. "Anehnya, saat ini mereka justru ramai-ramai mendukung. Dari sini terlihat bahwa mereka hanya ingin mempertontonkan superioritasnya."
Pemerintah menyodorkan 786 pasal RUU KUHP ke DPR untuk dimasukkan ke KUHP. Salah satu pasal adalah soal penghinaan presiden. Pasal itu sebelumnya telah diajukan peninjauan kembali oleh pengacara Eggy Sudjana pada 2006. Mahkamah Konstitusi mengabulkan dan mencabut pasal tersebut karena dianggap tidak memiliki batasan yang jelas. FAIZ NASHRILLAH