Tolak Proyek PLTU, Warga Batang Mencari Dukungan ke Jepang

Reporter

Editor

Raihul Fadjri

Selasa, 28 Juli 2015 21:16 WIB

Warga Batang membentuk tulisan "Tolak PLTU" dengan konfigurasi perahu sebagai aksi bersama Greenpeace menolak rencana pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara di Desa Ponowareng, Batang, Jawa Tengah, Rabu 24 September 2014. ANTARA/Yudhi Mahatma

TEMPO.CO, Batang - Keputusan pemerintah mengambil alih penyelesaian masalah pembebasan lahan untuk pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uang (PLTU) Batang tak mempan bagi penduduk penentang pembangunan pembangkit listrik itu. “Sampai sekarang Badan Pertanahan Nasional masih melakukan pengukuran dan inventarisasi tanah yang belum bisa dibebaskan untuk proyek PLTU Batang,” kata Sekretaris Daerah Kabupaten Batang, Nasikhin, Selasa 28 Juli 2015.

Tekanan pemerintah dengan memberlakukan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum diharapkan bisa membebaskan sisa lahan. Namun itu idak mudah dilakukan sehungga pelaksanaan proyek ini ditunda hingga akhir Juli 2015 ini.

Tapi penduduk tak tinggal diam. Mereka bersikukuh menilai pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 2 x 1.000 megawatt itu merusak lingkungan dan merugikan petani karena kehilangan pekerjaan. “PLTU Batang akan merugikan petani dan nelayan,” ujar penduduk penolak PLTU Batang, Roidi.

Penduduk pun melakukan perlawanan baru. Tiga penduduk, Cahyadi dari Karanggeneng, Karomat dari Ujungnegoro, dan Abdul Hakim dari Roban, berangkat ke Jepang. Mereka didampingi aktivis organisasi lingkungan hidup Greenpeace Indonesia. “Mereka akan bertemu dengan aktivis lingkungan dari Jepang untuk mendesak Japan Bank International Cooperation (JBIC) menghentikan pendanaan proyek PLTU Batang,” ujar Roidi.

JBIC adalah penyandang dana proyek PLTU Batang yang digarap PT BPI (konsorsium dua perusahaan Jepang dan satu perusahaan Indonesia). Mereka berharap perlawanan ini akan menghentikan sama sekali pembangunan proyek listrik ini, ketika pemerintah memakai Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 yang dalam banyak kasus penggusuran tanah untuk proyek pemerintah efektif dilakukan.

Dengan undang-undang itu pemerintah cukup menitipkan ganti rugi atas lahan penduduk di pengadilan (konsinyasi) untuk membebaskan lahan penduduk yang menolak PLTU Batang. Hasilnya, pelan-pelan penduduk yang mencoba bertahan mulai melepas lahannya sejak pembebasan diambil alih pemerintah. “Transaksinya tak langsung dengan PLN, tapi melalui calo tanah yang menawarkan harga mahal, Rp 400 ribu per meter persegi,” kata Roidi.

Calo itu mengajak pemilik lahan bertemu di luar kampung. “Sekarang, lahan yang belum dibebaskan tinggal sekitar 12 hektare. Semua di areal blok inti,” ujar Roidi.

DINDA LEO LISTY | VENANTIA MELINDA SARI

Berita terkait

Kebun Sawit Anak Usaha Sinarmas Diduga Terabas Cagar Alam Kelautku Kalimantan Selatan

2 jam lalu

Kebun Sawit Anak Usaha Sinarmas Diduga Terabas Cagar Alam Kelautku Kalimantan Selatan

Kebun sawit PT SKIP Senakin Estate, anak usaha Sinarmas, diduga menerabas hutan Cagar Alam Kelautku, Kalimantan Selatan.

Baca Selengkapnya

Ratusan Ribu Hektare Sawit Ilegal Kalimantan Tengah akan Diputihkan, Dinas Perkebunan Mengaku Tidak Dilibatkan

3 jam lalu

Ratusan Ribu Hektare Sawit Ilegal Kalimantan Tengah akan Diputihkan, Dinas Perkebunan Mengaku Tidak Dilibatkan

Lebih dari separo lahan sawit di Kalimantan Tengah diduga berada dalam kawasan hutan. Pemerintah berencana melakukan pemutihan sawit ilegal.

Baca Selengkapnya

KKP Tangkap Kapal Alih Muatan Ikan Ilegal, Greenpeace Desak Pemerintah Hukum Pelaku dan Ratifikasi Konvensi ILO 188

3 hari lalu

KKP Tangkap Kapal Alih Muatan Ikan Ilegal, Greenpeace Desak Pemerintah Hukum Pelaku dan Ratifikasi Konvensi ILO 188

Greenpeace meminta KKP segera menghukum pelaku sekaligus mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi ILO 188 tentang Penangkapan Ikan.

Baca Selengkapnya

Greenpeace Apresiasi KKP Tangkap Kapal Transhipment dan Mendesak Usut Pemiliknya

4 hari lalu

Greenpeace Apresiasi KKP Tangkap Kapal Transhipment dan Mendesak Usut Pemiliknya

Greenpeace Indonesia mengapresiasi langkah KKP yang menangkap kapal ikan pelaku alih muatan (transhipment) di laut.

Baca Selengkapnya

Kepala OIKN Klaim Pembangunan IKN Bawa Manfaat untuk Semua Pihak, Bagaimana Faktanya?

20 hari lalu

Kepala OIKN Klaim Pembangunan IKN Bawa Manfaat untuk Semua Pihak, Bagaimana Faktanya?

Kepala Badan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Bambang Susantono klaim bahwa pembangunan IKN akan membawa manfaat bagi semua pihak.

Baca Selengkapnya

Rusia Tuduh Ukraina Serang Pembangkit Nuklir Zaporizhzhia Pakai Drone Kamikaze

20 hari lalu

Rusia Tuduh Ukraina Serang Pembangkit Nuklir Zaporizhzhia Pakai Drone Kamikaze

Rusia menuduh Ukraina menyerang pembangkit listrik bertenaga nuklir Zaporizhzhia.

Baca Selengkapnya

Penggemar K-Pop Minta Hyundai Mundur dari Investasi penggunaan PLTU di Kalimantan

24 hari lalu

Penggemar K-Pop Minta Hyundai Mundur dari Investasi penggunaan PLTU di Kalimantan

Penggemar K-Pop global dan Indonesia meminta Hyundai mundur dari investasi penggunaan PLTU di Kalimantan Utara.

Baca Selengkapnya

Terpopuler: Grab Evaluasi SOP Pelayanan Buntut Kasus Pemerasan, Pesawat Jet Pribadi Harvey Moeis untuk Sandra Dewi

32 hari lalu

Terpopuler: Grab Evaluasi SOP Pelayanan Buntut Kasus Pemerasan, Pesawat Jet Pribadi Harvey Moeis untuk Sandra Dewi

Terpopuler: Grab Indonesia evaluasi SOP pelayanan buntut kasus pemerasan, deretan barang mewah dari Harvey Moeis untuk artis Sandra Dewi.

Baca Selengkapnya

Komitmen Iklim Uni Eropa Dipertanyakan, Kredit Rp 4 Ribu Triliun Disebut Mengalir ke Perusak Lingkungan

34 hari lalu

Komitmen Iklim Uni Eropa Dipertanyakan, Kredit Rp 4 Ribu Triliun Disebut Mengalir ke Perusak Lingkungan

Sinarmas dan RGE disebut di antara korporasi penerima dana kredit dari Uni Eropa itu dalam laporan EU Bankrolling Ecosystem Destruction.

Baca Selengkapnya

Rp 19.842 triliun Kredit Global ke Grup Perusahaan Berisiko Iklim, Ada RGE dan Sinarmas

34 hari lalu

Rp 19.842 triliun Kredit Global ke Grup Perusahaan Berisiko Iklim, Ada RGE dan Sinarmas

Walhi dan Greenpeace Indonesia mengimbau lembaga keuangan tidak lagi mendanai peruhasaan yang terlibat perusakan lingkungan dan iklim.

Baca Selengkapnya