Yusril Kritik Cara Jokowi Berhentikan Sutarman
Editor
Dewi Rina Cahyani
Minggu, 18 Januari 2015 11:56 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, mengkritik cara Presiden Joko Widodo memberhentikan Kepala Polri Jenderal Sutarman. Menurut dia, pencopotan Sutarman tak melalui mekanisme yang ditentukan dalam Undang-Undang Kepolisian. (Baca: Menkpolkam: Sutarman Masih Kapolri.)
"Pengangkatan maupun pemberhentian Kapolri dua-duanya harus dengan persetujuan DPR," ujar Yusril melalui akun Twitter-nya, @Yusrilihza_Mhd, seperti dikutip Tempo pada Ahad, 18 Januari 2015. (Baca: Soal Kapolri, Jokowi Tinggalkan Tradisi Baik SBY.)
Yusril mengatakan ikut dalam perumusan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Menurut dia, hal tersebut harus dilakukan dalam satu paket, bukan dipisah. (Baca: Refly: Jabatan Plt Kapolri Dianggap Tidak Lazim.)
Menurut Yusril, Jokowi juga harus menyertakan alasan-alasannya mencopot Sutarman dan memilih Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai penggantinya. "Begitu juga calon pengganti Sutarman harus diajukan permintaan persetujuan DPR disertai alasan-alasan mengapa dia dicalonkan," ujar mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia itu.
Presiden, kata Yusril, tak bisa memberhentikan Kapolri tanpa minta persetujuan DPR seperti sekarang yang dilakukan terhadap Sutarman. "Kecuali ada alasan yang mendesak," ujarnya. Alasan tersebut jika Kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamanan negara. "Apakah Sutarman melakukan pelanggaran sumpah jabatan atau melakukan makar sebelum diberhentikan Presiden? Saya tidak tahu," kata Yusril.
Dalam keadaan mendesak itu, ujar Yusril, Presiden baru dapat memberhentikan Kapolri dan menunjuk pelaksana tugas tanpa persetujuan DPR. Pada saat yang bersamaan, Presiden harus tetap meminta persetujuan DPR tentang pengangkatan pelaksana tugas. "Presiden harus menjelaskan alasan pemberhentian Kapolri dengan alasan mendesak itu."
Selanjutnya, menurut Yusril, Presiden harus segera mengusulkan calon Kapolri definitif untuk mendapat persetujuan DPR. Calon itu bisa pelaksana tugas tadi atau kandidat lainnya.
Yusril, yang saat itu menjabat Menteri Kehakiman bersama Menteri Pertahanan Matori Abdul Jalil, mewakili pemerintah mengajukan dan membahas rancangan undang-undang ini dengan DPR hingga akhirnya disahkan. Yusril berharap pemerintah sekarang ini memahami dan menjalankan undang-undang agar berjalan tertib dan baik.
Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja mengkritik pemberhentian Sutarman sebelum masa tugasnya berakhir. Menurut Pandu, hingga saat ini Jokowi maupun Komite Kepolisian Nasional tak mengemukakan alasan mempercepat pemberhentian Sutarman. "Ini perlu penjelasan, ini jadi penting, jangan sampai jadi preseden buruk," ujar Pandu. Menurut dia, syarat pemberhentian Kapolri berdasarkan undang-undang, yakni pensiun, tersandung kasus pidana, mengundurkan diri, atau meninggal. Sedangkan masa tugas Sutarman berakhir pada Oktober 2015.
Pandu pun membandingkan saat masih menjabat sebagai Sekretaris Kompolnas dulu bahwa tradisi pencalonan Kapolri harus menyurati KPK, kejaksaan, dan Komnas HAM untuk menanyakan integritas. "Apakah Kompolnas sudah melakukan itu? Ini penting supaya Kapolri ke depan tidak seperti ini. Tradisi harus dijaga terus," ujar Pandu yang selama enam tahun menjabat sebagai Sekretaris Kompolnas itu.
Pada Jumat malam, Jokowi mengeluarkan dua keputusan presiden. Pertama, memberhentikan dengan hormat Kepala Polri Jenderal Sutarman. Kedua, mengangkat Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kepala Polri. Jokowi menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan sebagai Kepala Polri lantaran KPK menjadikannya tersangka kasus dugaan suap dan penerimaan hadiah.
LINDA TRIANITA
Terpopuler
Soal Kapolri, Ruhut: Jokowi Melihat Sesuatu
Australia Galau pada Jokowi Soal Eksekusi Warganya
Oegroseno Bela Suhardi Alius dari Cap Pengkhianat
Pakaian Putih, Terpidana Bertanda Tembak di Dada