TEMPO.CO, Jakarta - Rapat Koordinasi Forum Rektor Indonesia pada akhir 2013 mengamanatkan pengurus untuk membuat draf Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Draf tersebut diharapkan menjadi pertimbangan pemerintahan baru untuk menghidupkan kembali GBHN.
Ketua Forum Rektor Indonesia Ravik Karsidi mengatakan, sejak pemilihan presiden 2004, GBHN dihapuskan oleh Undang-Undang Dasar hasil amandemen. "Sudah tiga kali kabinet pascareformasi, seakan-akan ada kekacauan perencanaan pembangunan," kata Ravik di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Rabu, 21 Mei 2014.
Dia mengatakan banyak sekali aturan pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan pusat. Sebab, pemerintah daerah justru mengabaikan peraturan di atasnya, seperti peraturan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. "Beda latar belakang politiknya, kebijakannya bisa beda," ujarnya.
Pakar hukum tata negara dari UNS, Isharyanto, mengatakan, setelah Pemilu 2004, ada reposisi dan restrukturisasi kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan MPR, tapi dijalankan undang-undang.
"Akibatnya, ketika seorang calon presiden dan calon wakil presiden terpilih memimpin Indonesia, mereka seperti diberi cek kosong dalam hal menentukan pembangunan Indonesia ke depan," katanya.
Dia mengingatkan bahwa Indonesia punya pengalaman pahit dalam hal memberikan cek kosong kepada pemimpin yang baru berkuasa. Pada Oktober 1966, Soeharto diangkat menjadi presiden tanpa ada arahan pembangunan. Akhirnya, Soeharto membuat aturan sendiri yang memungkinkan berkuasa selama 32 tahun. "Kita tidak ingin pengalaman pahit itu terulang," ujarnya.
Anggota tim penyusun draf GBHN versi Forum Rektor Indonesia, Mulyanto, mengatakan, tanpa GBHN, pemerintah daerah yang dipimpin kepala daerah yang berbeda partai politik dengan presiden bisa saja tidak mendukung kebijakan pemerintah pusat.
Dia mencontohkan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dikatahui dia, ternyata ada beberapa kepala daerah yang menolak pelaksanaan program tersebut. "Terutama yang berbeda haluan politik dengan presiden," tuturnya.
Dia memperkirakan, tanpa adanya GBHN yang menjadi acuan, pemerintah ke depan akan makin banyak aturan yang berbeda antara pusat dan daerah.
Ravik mengatakan draf yang sudah disusun dalam bentuk buku sudah dikirimkan ke tujuh komponen, yaitu Ketua MPR, presiden, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, dan partai politik peserta pemilu legislatif 2014.
Dia berharap draf tersebut menjadi dasar pertimbangan untuk menghidupkan lagi GBHN. Secara khusus, dia meminta DPR mengembalikan wewenang MPR untuk menyusun GBHN melalui amandemen UUD 1945. MPR juga harus mulai berinisiatif melakukan pembahasan dalam menyusun GBHN.
Ravik mengakui, meski nantinya GBHN kembali dihidupkan, ada kemungkinan diabaikan presiden terpilih. Juga, ada peluang tidak diadopsi pemimpin di daerah. "Karena itu, kami akan terus berdiskusi dan bernegosiasi dengan pemangku kepentingan terkait ihwal pentingnya GBHN dalam mengarahkan pembangunan Indonesia," katanya.
UKKY PRIMARTANTYO
Berita Terpopuler:
Mahfud Dijanjikan Jabatan Lebih dari Menteri
Jokowi atau Prabowo, Ahok: Aku Rapopo
Peraih Nilai UN Tertinggi Hanya Belajar di Rumah
Kecewa pada PKB, Mahfud: Selesai Tugas di Partai