TEMPO Interaktif, Jakarta: Wahyu Susilo dari INFID (International NGO Forum on Indonesian Development)meragukan, distribusi dana kompensasi penurunan subsidi bahan bakar mampu mengurangi jumlah rakyat miskin. Mennurutnya program kompensasi bias Jawa, artinya hanya memperhitungkan keadaan di Jawa. "Misalnya kompensasi pendidikan, pemerintah memberikan beasiswa dengan perhitungan SPP dan buku, tetapi tidak memperhitungkan biaya transportasi. Padahal kan di daerah pedalaman justru yang paling besar dana untuk pendidikan adalah transportasi," ujar Wahyu saat diskusi tentang Membagi Dana Kompensasi BBM di Mario?s Place, Sabtu (5/3).Selain itu, menurut Wahyu, program tersebut juga bersifat bias gender karena hanya mengalokasikan Rp 2,1 triliun untuk 36,1 juta penduduk miskin. Berarti setiap orang hanya mendapatkan Rp 5.000. "Bagaimana perhatian pemerintah terhadap tingginya kematian ibu dan anak serta meningkatnya jumlah penderita HIV dan AIDS di Indonesia. Saya khawatir dengan ketidaksensitifan pemerintah dalam program ini," katanya.Wahyu membantah pengalihan subsidi BBM dengan kompensasi dapat mengurangi tingkat kemiskinan. "Tiga presiden sudah merancang sistem penanggulangan kemiskinan, track-nya sudah jelas mendekati persoalan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Ini harus diteruskan," ucapnya pada saat tanya jawab diskusi. Seperti diketahui, pemerintah memutuskan mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan menaikkan harga BBM per 1 Maret 2005 karena dianggap yang merasakan keuntungan dari subsidi BBM sebagian besar adalah masyarakat kaya. Faktor lain yang membuat pemeritah tidak mempunyai pilihan lain selain menaikkan BBM adalah adanya difisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sehingga negara perlu melakukan efisiensi.Dengan pengurangan subsidi, pemerintah membuat program kompensasi sebesar Rp 17,5 triliun untuk rakyat miskin. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh LPEM Universitas Indonesia, dengan kenaikan BBM sebesar 30 persen, namun diimbangi dengan program kompensasi untuk rakyat miskin maka dapat mengurangi rakyat miskin sebesar 3 persen.Menurut Wahyu, dengan kenaikan BBM 29 persen maka hampir 50 persen penduduk Indonesia mempunyai potensi menjadi miskin. "Data yang dikeluarkan ADB (Asia Development Bank) dan Bank Dunia menyatakan separuh orang Indonesia miskin dengan tambahan 1 juta orang korban tsunami di Aceh dan setengah juta dari TKI yang dideportasi dari Malaysia," urainya.Wahyu menambahkan sebenarnya pemerintah mempunyai pilihan lain selain mengurangi subsidi BBM untuk menyelamatkan APBN, yaitu dengan meminta program reduksi atau pengurangan utang. "Utang kita kan tidak dinikmati rakyat, tapi lebih banyak bocor dengan korupsi. Sehingga kita dapat meminta pengurangan utang," ujarnya.Evy Flamboyan