Asap putih yang keluar dari kawah gunung kelud terlihat dari desa Gandusari, Blitar, Jawa Timur (15/2). ANTARA /Ari Bowo Sucipto
TEMPO.CO, Malang--Jurnalis yang meliput bencana diminta tak mengeksploitasi penderitaan. Namun, harus memberikan informasi yang dibutuhkan korban bencana dan motivasi agar bangkit dari penderitaan. "Televisi sering menyiarkan gambar penderitaan, orang menangis dan menjual sensasi," kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Eko Maryadi dalam diskusi liputan bencana yang diselenggarakan AJI Malang, Ahad 16 Februari 2014.
Ia berharap perusahaan media agar berempati kepada korban tanpa air mata. Di sejumlah negara seperi Jepang, katanya, media tak pernah menyorot korban secara dekat. Tak mengumbar air mata maupun gambar korban jiwa saat terjadi bencana alam. Namun, justru memotivasi korban agar semakin kuat dan tabah serta bangkit untuk membangun kembali.
Untuk itu, sebelum liputan bencana perusahaan media harus membekali jurnalisnya dengan pengetahuan kebencanaan. Terutama terhadap potensi bencana yang terjadi di daerahnya. Selain itu, jurnalis sadar bencana juga dibutuhkan agar siap sedia saat diturunkan liputan bencana.
Seperti liputan gunung meletus, jurnalis harus dibekali pengetahuan kegunungapian. Meliputi karakteristik gunung api, potensi ancaman dan bahayanya. Sehingga bisa menghindari dari daerah yang rawan dan berbahaya. "Tak ada berita seharga nyawa," katanya.
Selain itu, jurnalis juga harus membawa perbekalan yang cukup saat liputan di daerah bencana. Tak hanya berbekal alat kerja jurnalistik, namun harus membawa bekal berupa ransum dan peralatan keselamatan dan keamanan bekerja. "Saya saat liputan tsunami di Aceh membawa bekal makanan dan minuman," katanya.
Alasannya, sejumlah lokasi bencana kadang sangat ekstrem dan tak ada makanan. Sehingga jurnalis harus membekali diri dengan makanan yang cukup. Saat liputan bencana gunung meletus, jurnalis harus mengenakan kacamata, masker, sepatu dan kaus tangan. "Abu vulkanik berbahaya bagi kesehatan," katanya.