Anggota FPI mengangkat tangannya saat menggelar aksi menolak Miss World 2013 di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat (14/9). TEMPO/Dhemas Reviyanto
Pada 11 Februari 2012, ratusan warga Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menyerbu masuk Bandara Cilik Riwut. Massa yang menggunakan ikat kepala merah langsung mengepung pesawat Sriwijaya Air yang membawa anggota FPI Jakarta.
“Jangan ada orang luar yang mengatur kehidupan masyarakat Kalteng,” kata Wakil Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah, Lukas Tingkes, saat berorasi di bandara. Rombongan FPI sendiri datang untuk meresmikan cabang organisasi itu di sana.
Penolakan warga Kalimantan ini disambut positif oleh banyak kalangan. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat berkomentar kalau aksi penolakan warga itu sah sah saja. Meski negara memang menjamin kebebasan berorganisasi, kata SBY, penolakan warga harus diperhatikan. “Mestinya mereka (FPI) bertanya, kenapa ditolak,” kata SBY.
Lima hari setelah aksi penolakan itu, Menteri Gamawan mengadakan pertemuan dengan pimpinan FPI Rizieq Shihab. Dalam pertemuan itu, Gamawan memaparkan empat ketentuan untuk membekukan ormas, yaitu menerima dana tanpa izin, memberi dana tanpa izin, mengembangkan ajaran dan idelogi yang merongrong pembangunan dan melanggar ketertiban.
"FPI sudah kami ingatkan untuk poin keempat," kata Gamawan ketika itu. Menurut Gamawan, sejak 2008, pemerintah sudah mengirim dua surat peringatan kepada FPI. "Jika FPI tetap melakukan tindakan yang meresahkan, Kementerian Dalam Negeri akan mengambil tindakan tegas. Kalau masih melakukan tindakan melanggar itu tahapnya pembekuan," ujar Gamawan.