Anak-anak dan menantu Sri Sultan Hamengkubuwono X berfoto bersama (ki-ka) KPH Yudonegoro, GKR Bendara (putri bungsu), KPH Wiranegara, GKR Pembayun (putri sulung), GKR Hayu (putri keempat), KPH Notonegoro, GKR Condrokirono (putri kedua), GKR Maduretno (putri ketiga), dan KPH Purbodiningrat di Bangsal Kesatriyan, kompleks Keraton Yogyakarta, (22/10). TEMPO/Suryo Wibowo.
TEMPO.CO, Yogyakarta - Dua beksan atau tari klasik ditampilkan dalam resepsi pernikahan putri Sultan Keraton Yogyakarta, Hamengku Buwono X, Gusti Kanjeng Ratu Hayu dengan Kanjeng Pangeran Haryo Notonegoro di Bangsal Kepatihan, Yogyakarta, Rabu, 23 Oktober 2013. Kedua tari tersebut adalah tari Bedhaya Manten Sangaskara, yang ditampilkan pertama, dan Tari Lawung Ageng, ditampilkan terakhir.
"Tari Bedhaya Manten Sangaskara ini karya Sultan Hamengku Buwono IX," kata pembawa acara resepsi manten, Suryo Baskoro, di Bangsal Kepatihan.
Tari yang ditarikan enam penari perempuan tersebut hanya ditampilkan saat pernikahan putra-putri Raja Keraton Yogyakarta. Tarian itu menceritakan perjalanan sepasang anak manusia mulai dari masa kecil hingga akan menikah. Aslinya, tarian berdurasi dua jam, namun dalam resepsi dipersingkat menjadi 20 menit. Saat para penari menarikan tarian yang gerakannya lambat itu, baik sepasang pengantin maupun masing-masing orang tuanya tampak menyaksikan dengan khidmat.
Sementara Tari Lawung Ageng ditarikan 16 penari laki-laki. Tarian itu sangat kuno karena diciptakan Sultan Hamengku Buwono I yang memerintah pada 1755-1792, namun saat ditarikan, satu per satu tamu undangan malah sibuk bersalaman dengan kedua mempelai dan orang tuan mereka.
Tari tersebut menceritakan prajurit yang tengah berlatih perang. Lantaran ada larangan dari pemerintah kolonial Belanda bagi prajurit untuk berlatih perang dengan menggunakan senjata sebenarnya, HB I kemudian mengalihkan olah keprajuritan dalam bentuk tarian untuk membangkitkan semangat kepahlawanan prajurit keraton waktu itu.
"Properti perangnya adalah lawung. Yaitu tombak yang ujungnya tumpul dengan panjang tiga meter," kata Suryo Baskoro yang juga Kepala Bidang Humas dan Keprotokolan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Ke-16 penari tersebut terdiri dari dua orang botoh, empat orang lurah, empat orang jajar, empat orang pengampil, dan dua orang salaotho. Kedua salaotho tersebut mengenakan baju beskap biru dengan wajah berhiaskan bedak tebal berwarna putih. Salah satu tangannya mengangkat ubarampe berbentuk kotak setinggi telinganya.
Para penari kedua beksan tersebut juga ikut kirab kereta dari Keben Keraton Yogyakarta menuju Bangsal Kepatihan. Kereta yang ditumpangi penari Bedhaya Manten Sangaskara adalah kereta Kyai Permili. Kereta tersebut berukuran paling besar dan mampu mengangkut 16 orang. Sedangkan para penari Lawung Ageng mengikuti kirab dengan menunggang kuda yang tinggi dan kokoh.