Media Jambak, Sikat dan Pukul

Reporter

Senin, 30 September 2013 11:27 WIB

Gedung Tri Dharma Widya yang terletak di Jl Cidurian 19, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat (21/9). Gedung tersebut sebelumnya merupakan rumah setengah kantor milik ketua LEKRA, Oey Hay Djoen. TEMPO/Dhemas Reviyanto

TEMPO.CO, Jakarta - Perjumpaan dengan Samosir, Pemimpin Umum Harian Rakjat (HR), di Paviliun Cidurian 19, Cikini, Jakarta, pada awal Juni 1963 itu mengubah nasib Amarzan Ismail Hamid. Mak comblang pertemuan itu adalah Oey Hay Djoen, pemilik paviliun tempat Amarzan tinggal. “Zan, ini Bung Samosir,” Amarzan menirukan ucapan Oey, yang punya nama pena Samanjaya.


Dalam pertemuan pertama itu, Samosir langsung menawari Amarzan pekerjaan sebagai redaktur HR edisi Minggu. Edisi kebudayaan ini tadinya terbit Sabtu. Tak berpikir lama, Amarzan--ketika itu baru 22 tahun--langsung mengangguk meski tahu tujuannya ke Jakarta untuk kuliah di Universitas Indonesia (UI) bakal terbengkalai. "Gila jika menolak," kata Amarzan di kediamannya, Cikarang, Bekasi, tengah September lalu.


Jadilah Amarzan berkantor di Jalan Pintu Besar Selatan Nomor 93, Taman Sari, Jakarta Barat. Selama 15 tahun kantor itu menjadi markas HR. Tepat di seberangnya ada kantor lama harian Kompas. Bekas kantor HR itu kini ditempati PT Biru International, perusahaan kontraktor interior dan bahan bangunan.


Gaya jurnalisme HR meledak-ledak dan tembak langsung. Koran ini tidak sungkan menyerang lawan dengan istilah: jambak, sikat, dan pukul. Gaya bahasa yang dianggap hemat, lincah, dan terus terang itu, menurut penyair Lekra Busjari Latif, sesuai dengan gaya Marxisme dan Leninisme. Bahasa ini mudah dimengerti petani dan buruh yang menjadi basis massa PKI.


Menurut Amarzan, oplah HR pernah mencapai 100 ribu eksemplar. Sementara di buku Program dan Pelaksanaan susunan Kementerian Penerangan 1958, tercatat oplah HR 60 ribu. Jumlah itu wajar. Karena anggota PKI yang terdaftar waktu itu mencapai 3,5 juta jiwa.


Advertising
Advertising

Menurut penulis buku Lekra Tak Membakar Buku, Rhoma Dwi Aria Yuliantri, HR merupakan titisan koran-koran kiri pendahulunya: Sinar Hindia, Api, Njala, dan Mawa. Gaya bahasa koran-koran itu mewakili golongan kelas bawah yang tidak suka dengan bahasa intelek yang kabur dan berbelit.


(Baca selengkapnya pada Edisi Khusus Lekra di Majalah Tempo terbitan 30 September 2013)


TIM TEMPO
Topik Terhangat
Mobil Murah | Senjata Penembak Polisi | Kontroversi Ruhut Sitompul | Guyuran Harta Labora | Info Haji


Berita Terpopuler
Miss World 2013, Megan Young Asal Filipina
Megawati: Mbok Jangan Terlalu Tegang Dik Jokowi
PDIP Tak Tertarik Manuver Amien Rais Soal Jokowi



Berita terkait

Sejumlah Larangan Rezim Orde Lama dan Orde Baru untuk Anak Muda: Musik Ngak Ngik Ngok, Celana Ketat, Rambut Gondrong

2 Oktober 2023

Sejumlah Larangan Rezim Orde Lama dan Orde Baru untuk Anak Muda: Musik Ngak Ngik Ngok, Celana Ketat, Rambut Gondrong

Pada era orde lama dan orde baru tetapkan beberapa larangan untuk anak muda seperti musik ngak ngik ngok, rambut gondrong, dan celana ketat.

Baca Selengkapnya

Perjalanan Koes Plus, Saat Bernama Koes Bersaudara Dijebloskan Rezim Orde Lama ke Penjara Glodok

29 September 2023

Perjalanan Koes Plus, Saat Bernama Koes Bersaudara Dijebloskan Rezim Orde Lama ke Penjara Glodok

Sebelum terkenal dengan nama Koes Plus, band legendaris ini bernama Koes Bersaudara. Begini alasan terjadi perubahan nama grup band legendaris ini.

Baca Selengkapnya

Koes Bersaudara Dibebaskan dari Penjara Glodok Sehari Sebelum G30S 1965 Tanpa Alasan

29 September 2023

Koes Bersaudara Dibebaskan dari Penjara Glodok Sehari Sebelum G30S 1965 Tanpa Alasan

Satu hari sebelum peristiwa G30S, Koes Bersaudara lalu menjadi Koes Plus dibebaskan dari Penjara Glodok tanpa alasan. Apa sebab mereka dibui?

Baca Selengkapnya

Top 3 Metro Kemarin, Puisi Butet Kartaredjasa Dikaitkan dengan Lekra, Kondisi GBK usai Dipakai PDIP

1 Juli 2023

Top 3 Metro Kemarin, Puisi Butet Kartaredjasa Dikaitkan dengan Lekra, Kondisi GBK usai Dipakai PDIP

Puisi seniman Butet Kartaredjasa dan kondisi GBK usai dipakai PDIP masih menjadi topik yang banyak dicari pembaca

Baca Selengkapnya

Kenang Pramoedya Ananta Toer dan Karya-karyanya, Tak Cuma Bumi Manusia

6 Februari 2023

Kenang Pramoedya Ananta Toer dan Karya-karyanya, Tak Cuma Bumi Manusia

Pramoedya Ananta Toer salah seorang sastrawan legendaris Indonesia, ia menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa.

Baca Selengkapnya

Jokowi Serahkan DIPA dan TKDD 2023 ke 53 Kementerian dan Lembaga

1 Desember 2022

Jokowi Serahkan DIPA dan TKDD 2023 ke 53 Kementerian dan Lembaga

Jokowi telah menyerahkan DIPA dan Daftar Alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Tahun 2023 kepada 53 kementerian dan lembaga.

Baca Selengkapnya

Mengenal Utuy Tatang Sontani, Generasi Sastrawan yang Tak Bisa Pulang Setelah G30S

17 September 2022

Mengenal Utuy Tatang Sontani, Generasi Sastrawan yang Tak Bisa Pulang Setelah G30S

Sastrawan Utuy Tatang Sontani tak bisa pulang setelah G30S. Ia dari Peking kemudian tinggal di Moskow, Rusia hingga wafatnya.

Baca Selengkapnya

Hari Ini di Tahun 2000, Pramoedya Ananta Toer Menerima Penghargaan Fukuoka

26 Juni 2022

Hari Ini di Tahun 2000, Pramoedya Ananta Toer Menerima Penghargaan Fukuoka

Pramoedya Ananta Toer menerima penghargaan utama Fukuoka yang diberikan ke tokoh-tokoh Asia yang berkontribusi bidang akademis, seni, dan budaya.

Baca Selengkapnya

Sebab Lagu Genjer-Genjer Identik dengan PKI dan Dilarang Orde Baru

29 September 2021

Sebab Lagu Genjer-Genjer Identik dengan PKI dan Dilarang Orde Baru

Lagu Genjer-Genjer sudah jarang dinyanyikan karena dianggap memiliki kaitan dengan PKI.

Baca Selengkapnya

Organisasi-Organisasi yang Dianggap Berafiliasi Dengan PKI

29 September 2021

Organisasi-Organisasi yang Dianggap Berafiliasi Dengan PKI

Setelah peristiwa G30S, anggota organisasi yang dianggap terkait dengan PKI diburu dan ditangkap

Baca Selengkapnya