Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo (kanan) dan Anggota BPK Ali Masykur Musa menaiki anak tangga gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat (23/8). TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum administrasi negara Riawan Tjandra menegaskan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki otoritas untuk memeriksa Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini mengacu kepada Ketetapan MPR X Tahun 2001.
"MPR menyatakan BPK perlu meningkatkan intensitas dan efektivitas pemeriksaannya terhadap lembaga-lembaga tinggi negara, institusi pemerintahan, BUMN, BUMD, dan lembaga-lembaga lain yang menggunakan uang negara," kata Riawan ketika dihubungi Tempo, Kamis, 29 Agustus 2013.
Riawan mengatakan sebagai lembaga negara yang mengelola keuangan negara, DPR juga harus tunduk kepada otoritas BPK. Karena itu, jika ada nama aktor personal ataupun lembaga yang ditemukan terlibat dalam kerugian negara, Riawan menegaskan BPK harus mencantumkan nama aktor-aktor tersebut.
"Aktor-aktor ini kan muncul dari hasil analisis BPK atas data-data yang diperoleh saat audit. Kalau nama-nama tersebut dihilangkan, berarti BPK mereduksi hasil analisis mereka sendiri," kata Riawan.
Riawan menjelaskan dalam UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK, disebutkan penilaian kerugian negara dan penetapan pihak yang berkewajiban mengganti kerugian ditetapkan oleh BPK.
Sebelumnya, sejumlah pihak menduga ada perubahan dalam laporan audit investigasi tahap II Hambalang yang diserahkan BPK kepada DPR. Diduga kuat, pimpinan BPK menghilangkan beberapa temuan auditor dalam draft hasil audit.
Ada empat poin yang menghilang dari laporan yang diterima DPR. Pertama, nilai kerugian dalam laporan resmi lebih kecil Rp 8,03 miliar daripada draft. Kedua, nama 15 anggota Komisi Olahraga DPR yang diduga memuluskan perubahan proyek dari tahun tunggal menjadi tahun jamak. Ketiga, empat nama anggota Komisi yang diduga terlibat penyimpangan rencana kerja anggaran. Keempat, rincian pihak-pihak yang diduga terlibat.