Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo (kedua kiri) menyerahkan berkas hasil audit kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad didampingi Anggota BPK Ali Masykur Musa (kiri) dan Wakil ketua KPK Zulkarnaen di gedung KPK, Jakarta, Jumat (23/8). Kedatangan BPK kali ini untuk menyerahkan hasil audit Hambalang ke KPK untuk tindak lanjut penyidikan kasus Hambalang yang merugikan negara Rp. 471 Miliar dari proyek senilai Rp. 2,5 Triliun. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Hal itu menurut Agus, sudah disepakati setelah melalui pembahasan pada rapat komisi. "Kami bahas hari ini, dan setelah kami baca memang tidak ada," kata Agus saat dihubungi Tempo Selasa, 27 Agustus 2013.
Disinggung mengenai perbedaan dengan laporan audit yang beredar, serta kemungkinan penghilangan nama dalam audit II ini, Agus mengatakan bahwa dirinya hanya menyampaikan hasil rapat yang didasarkan pada laporan BPK yang diterimanya. "Saya hanya bertugas menyampaikan keputusan rapat."
Agus enggan mengomentari keaslian laporan yang sempat beredar di media. Yang jelas menurutnya laporan yang menjadi bahan pembahasan komisinya adalah laporan yang diterima dari BPK. Lebih lanjut Agus menyampaikan bahwa apa yang disampaikannya juga sebagai klarifikasi kepada media terhadap kabar yang beredar selama ini.
Setelah dibahas di komisi pendidikan, Agus mengatakan, keputusan yang diambil akan dikonsultasikan terlebih dahulu kepada pimpinan DPR sebelum dibahas dengan BPK.
Agus mengaku pada saat pembahasan proyek Hambalang, dirinya masih berada di komisi perdagangan, sehingga tidak mengetahui pasti apa yang ada di komisi pendidikan saat itu.
Seperti diberitakan, pada Jumat 23 Agustus 2013 lalu, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo menyerahkan audit II terhadap pembangunan proyek pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang.
Dalam dokumen audit investigasi BPK tahap II atas proyek Hambalang yang sempat diterima Tempo, ada 15 legislator yang dianggap melanggar mekanisme pembahasan anggaran proyek.
Salinan itu dalam salinan tersebut juga menyimpulkan ada dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan kontrak tahun jamak, pelelangan, pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan pencairan uang muka. Penyimpangan itu mengakibatkan kerugian negara Rp 471,707 miliar.