Tiga anak menggunakan kakus di pinggir pantai perkampungan nelayan Cilincing, Jakarta,(2/6) Kurangnya kesadaran masyarakat sekitar akan kebersihan dan fasilitas MCK yang tidak memadai membuat mereka mengotori laut. TEMPO/Tony Hartawan
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan pencemaran air di Indonesia disebabkan kesadaran masyarakat atas sanitasi masih rendah. Mengutip data United Nations Children's Fund (UNICEF), 26 persen penduduk Indonesia masih buang air besar di tempat terbuka pada 2011.
Prediksi itu dikuatkan data tingkat pencemaran air di 53 sungai di Sumatera, Jawa, Bali dan Sulawesi. Pencemaran air oleh bahan organik mencapai 76 persen. Menurut Djoko 11 sungai utama tercemar ammonium yaitu zat yang dibuang dari tubuh manusia lewat air kencing. "Air dari sungai utama ini digunakan sebagai sumber bahan baku untuk air minum," kata Djoko dalam Jambore Sanitasi Nasional 2013 di Jakarta, Senin, 24 Juni 2013.
Akibatnya, diperlukan ongkos lebih besar untuk penjernihan dan pemulihan kualitas air. Djoko mencontohkan untuk mengolah air bersih 1 meterkubik atau setara 1.000 liter menjadi air minum dibutuhkan biaya Rp 2.000 hingga Rp 3.000. Jika kualitas air menurun, biaya pengolahan bisa meningkat dua atau tiga kali lipat. "Pembengkakannya bisa mencapai puluhan ribu."
Djoko menilai fenomena ini menggambarkan peningkatan sanitasi bukan sekadar soal ketersediaan infrastruktur. "Dibutuhkan perubahan pola gaya hidup sehat," ujarnya.
Kementerian Pekerjaan Umum menganggarakan Rp 3 triliun untuk program sanitasi tahun ini. Program sanitasi itu di antaranya sistem perpipaan air limbah skala kota di 8 kota, instalasi pengolahan lumpur tinja di 18 kota, dan perpipaan air limbah skala kawasan di 811 lokasi.
Program lain yaitu pembangunan infrastruktur drainasi perkotaan di 55 kota, tempat pemrosesan akhir sanitary landfill dan intermediat treatment facility di 74 kota. Pemerintah juga akan membuat tempat pemrosesan sampah terpadu 3R di 105 lokasi.