Merry Grace semasa hidup. Repro: TEMPO/Yohanes Seo
TEMPO.CO, Kupang - Forum Komunikasi Pemerhati dan Perjuangan Hak-hak Perempuan (Forkom P2HP) Nusa Tenggara Timur (NTT) mengatakan pembunuhan terhadap Yosefin Keredok Payong (Merry Grace) dan dua bayinya di Desa Lela, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Hal itu tertuang dalam seruan moral yang dikeluarkan Forkom P2HP, yang mengutuk tindakan pelaku pembunuhan, Herman Jumat Masan alias Herder.
“Seruan moral yang dikeluarkan ini sebagai bentuk keprihatinan dan mengecam tindakan pelaku yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan,” kata Ketua Forkom P2HP NTT Mien Patty Mangoe kepada wartawan, Sabtu, 2 Maret 2013.
Menurut Mien, kasus yang menimpa Mery Grace merupakan kejahatan martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak. Karena itu, Forkom P2HP mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Forkom P2HP juga mengimbau semua pihak yang mengetahui kasus itu untuk berani bersaksi guna mengungkap kasus yang terjadi 10 tahun silam itu.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Keuskupan Agung Kupang, Romo Gerardus Duka, mengatakan, perbuatan yang berakibat lenyapnya manusia, apa pun alasannya, tidak dapat dibenarkan. Karena perbuatan itu sangat melukai martabat manusia.
”Saya prihatin dan mendukung berbagai upaya yang dilakukan aparat penegak hukum untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan yang dialami Merry Grace beserta dua bayinya," ujarnya.
Mery Grace beserta dua bayinya diduga dibunuh oleh Herman. Mayat Grace dan bayinya dikuburkan di depan Tempat Orientasi Rohani (TOR) Lela, Sikka, sejak tahun 1999 hingga 2002. Grace adalah suster di tempat itu.
Kasus tersebut baru terungkap 10 Maret 2002 setelah pihak keluarga mencari Grace yang hilang selama 10 tahun.