Inilah Peta Konflik Lahan di Mesuji

Reporter

Editor

Jumat, 16 Desember 2011 15:34 WIB

Foto-foto kekerasan yang di bawa perwakilan warga Mesuji di Ruang Pengaduan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kamis (15/12). Sekitar 30 orang diduga tewas terbunuh akibat sengketa lahan antara warga danpihak perkebunan di Kabupaten Mesuji, Lampung. TEMPO/Seto Wardhana

TEMPO Interaktif, Bandar Lampung - Baru-baru ini sejumlah warga Mesuji mengungkap tragedi pembantaian petani di daerah mereka yang dilakukan oleh aparat keamanan dan sejumlah perusahaan perkebunan. Di depan anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta mereka mengatakan sebanyak 30 warga dibantai yang dipicu sengketa lahan di Mesuji, Lampung.

Sengketa lahan di di Kabupaten Mesuji terjadi di dua titik. Pertama, sengketa lahan antara perambah hutan di Desa Moro-moro, Pelita Jaya, dan Pekat Raya dengan PT Silva Inhutani. Mereka memperebutkan lahan seluas 43.900 hektare di Kawasan Register 45. Kedua, sengketa lahan antara warga di Desa Kagungan Dalam, Nipah Kuning, Tanjungraya di Kecamatan Tanjung Raya, dan PT Barat Selatan Makmur Investindo yang memperebutkan lahan tanah ulayat.

Para pelapor yang mengadu ke DPR Rabu lalu (14/12) itu adalah warga yang mendiami Kawasan Register 45 di Alpa 8 atau yang mereka sebut Desa Pelita Jaya, Kecamatan Mesuji Timur. Mereka merupakan korban penertiban hutan yang telah dikuasai oleh PT Silva Inhutani sejak 1996. Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan itu berakhir pada 2024.

Sebelumnya lahan seluas 43.900 hektare Kawasan Register 45 itu dikelola oleh PT Inhutani V hingga pertengahan tahun 1990-an. Perusahaan itu kemudian bergabung dengan PT Silva anak usaha Sungai Budi Group dan berganti menjadi nama PT Silva Inhutani. Belakangan, perusahaan gabungan itu murni dikelola oleh PT Silva.

Pada 1997 sejumlah warga mulai mendiami kawasan yang ditanam sengon dan tanaman industri lain peninggalan PT Inhutani V. Mereka menebangi tanaman yang ada di kawasan itu hingga gundul. “Jumlahnya masih sedikit. Sebagian mereka membuka usaha tambal ban di tepi Jalan Lintas Timur Sumatera,” karta Sumarno, salah seorang warga Moro-moro.

Perambah marak berdatangan setelah tahun 1999. Mereka datang dari berbagai daerah sepeti Lampung Timur, Tulangbawang, Metro bahkan dari Jawa Barat, Bali, dan Makassar. “Tanah itu kemudian dikapling-kapling dan dibagi sesama mereka. Awalnya hanya mendirikan gubung sebagai tempat melepas lelah seusai menanam singkong,” kata Penjabat Bupati Mesuji Albar Hasan Tanjung.

Saat masih masuk wilayah Kabupaten Tulangbawang, pemerintah dan aparat kerap menertibkan para perambah itu. Langkah itu tidak membuahkan hasil bahkan jumlah warga yang datang semakin panjang. “Pemerintah kerap negosiasi seumur singkong. Warga selalu berjanji akan pergi setelah singkong dipanen. Alasan itu selalu dipakai seperti pada penggusuran terakhir di Pelita Jaya,” katanya.

Para perambah itu kemudian mendirikan Desa Moro-moro yang terdiri dari Kampung Moro Seneng, Moro Dewe, dan Moro-Moro. Mereka mendirikan ladang singkong, permukiman, delapan sekolah dasar, dan tempat ibadah. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat aktif melakukan advokasi seperti Yabima dan Agra.

Rata-rata warga di desa Moro-Moro menanam singkong. Setiap warga mengelola dua hingga dua puluh hektare lahan. Bahkan, tersebut ada yang menguasai lahan hingga seratus hektare.

Kondisi itu membuat kawasan itu berkembang pesat. Gelombang selanjutnya pada tahun 2003, ratusan perambah kembali membuka lahan di Alpha 8. Mereka kemudian menyebut perkampungan itu dengan Pelita Jaya.

Selanjutnya pada tahun 2009 warga kembali dikoordiniasi oleh Pekat Raya, sebuah organisasi massa. Warga yang hendak mendapat kapling harus membayar Rp 3 juta hingga Rp 15 juta. “Semua tergantung pada luas dan lokasi. Kami harus membayar kepada pengurus,” kata Rahmad, yang sudah keluar dari kawasan itu dan memilih tinggal di Bandar Lampung.

Keberadaan perambah yang perlahan menguasai kawasan Register 45 itu membuat Pemerintah Provinsi Lampung membentuk Tim Gabungan Penertiban Perlindungan Hutan. Anggota tim itu terdiri dari polisi, TNI, jaksa, pemerintah, satuan pengamanan perusahaan dan pengamanan swakarsa. Mereka melakukan aksinya pada bulan September 2010.

Tim beranggotakan ribuan orang itulah yang menggusur permukiman dan gubuk-gubuk liar yang dibangun Pekat Raya. Sempat ada perlawanan, tapi tidak ada korban jiwa. “Penertiban yang digelar 6 November 2010 yang menyebabkan satu orang warga tewas dan satu lainnya terluka,” kata Kepala Polda Lampung Brigadir Jenderal Jodie Roosseto.

Pada penertiban itu, seorang warga, Made Asta, 38 tahun, tewas tertembak aparat. Sementara Nyoman Sumarje, 29 tahun, luka tembak di bagian kaki. Pascaperistiwa itu polisi menangkap sejumlah pengurus Pekat Raya karena telah mengkapling-kapling lahan Register 45 dan diperjualbelikan.

Tim itu kembali menggusur warga di Simpang De, Kecamatan Mesuji Timur, 21 Pebruari 2011. Warga melawan dengan memblokir Jalan Lintas Timur Sumatera. Belasan orang terluka terkena gas air mata termasuk anak-anak yang terjebak dalam bentrok itu.

Peristiwa itu membuat Tim Gabungan memberikan waktu kepada perambah hingga panen singkong usai. Hingga akhirnya, pada Rabu 14 Desember 2011, warga Pelita Jaya mengadukan ke DPR RI soal adanya pembantaian. “Kami tegaskan tidak ada pembantaian. Faktanya hanya ada satu korban tewas dan satu terluka,” kata salah seorang pejabat PT Silva Inhutani.

Dia mengaku heran dengan tudingan warga yang menyatakan perusahaan telah melanggar HAM. Dia justru menuding para perambah itu yang telah merampas dan menebangi pohon yang mereka tanam. “Kami memiliki HPH TI secara sah dan sesuai dengan prosedur. Mari selesaikan secara hukum jangan asal tuduh,” katanya.

Sementara konflik lain terjadi di Areal Perkebunan PT Barat Selatan Makmur Investindo. Perusahaan itu terlibat sengketa dengan penduduk asli di Tanjungraya. Warga menganggap perusahaan telah menyerobot lahan milik mereka yang telah digarap turun-temurun. “Kami sudah berjuang meminta lahan itu dikembalikan sejak tujuh belas tahun lalu,” kata Rano Karno, Kagungan Dalam, Tanjung Raya, Kabupaten Mesuji, yang menjadi korban tembak aparat pada peristiwa itu.

Puncaknya pada 10 Nopember 2011. Warga yang hendak memanen sawit di lahan yang mereka klaim diberondong peluru aparat. Zailani, 45 tahun, warga Kagungan Dalam tewas di tempat, serta 4 orang lainnya terluka. “Polisi menembaki kami dengan membabi buta,” katanya.

Saat ini Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mengadvokasi para korban sengketa lahan di desa Nipah Kuning, Kagungan Dalam, dan Tanjung Raya. LBH menuding tragedi berdarah itu karena polisi lebih berpihak pada perusahaan. “Ada upaya pembantaian. Warga dihujani tembakan dari berbagai arah. Tidak ditemukan perlawanan warga,” kata Direktur LBH Bandar Lampung Indra Firsada.

Polda Lampung sendiri telah menahan Ajun Komisaris Wetman Hutagaol dan Aiptu Dian Permana karena dianggap lalai dan menyebabkan warga tewas dan terluka. Keduanya juga dihukum dengan ditunda kenaikan pangkatnya secara berkala. “Hukuman itu terlalu ringan. Mestinya mereka diseret ke pengadilan,” ujar Indra.

NUROCHMAN ARRAZIE


Berita terkait

Kasus Kades Tipu Dokter di Tangsel Disidangkan Hari Ini, Kerugian Rp 1,7 Miliar

6 Februari 2024

Kasus Kades Tipu Dokter di Tangsel Disidangkan Hari Ini, Kerugian Rp 1,7 Miliar

Ada empat bidang tanah yang dijual oleh Kades AB ternyata bermasalah, sehingga korban dirugikan hingga Rp 1,7 miliar.

Baca Selengkapnya

Mahfud MD Kritik Aparat saat Tangani Sengketa Tanah, 4 Masyarakat Adat Ini Terancam Digusur

23 Januari 2024

Mahfud MD Kritik Aparat saat Tangani Sengketa Tanah, 4 Masyarakat Adat Ini Terancam Digusur

Mahfud MD kritik aparat saat tangani sengketa tanah yang juga libatkan masyarakat adat

Baca Selengkapnya

Mahfud Md Bilang Akan Tertibkan Birokrasi Pemerintah dan Aparat untuk Hindari Konflik Masyarakat Adat

21 Januari 2024

Mahfud Md Bilang Akan Tertibkan Birokrasi Pemerintah dan Aparat untuk Hindari Konflik Masyarakat Adat

Menanggapi tingkah aparat, Mahfud Md mengatakan akan menertibkan birokrasi pemerintah dan aparat penegak hukum.

Baca Selengkapnya

Menteri ATR Harap Aset Kesultanan dan Keistimewaan Pengelolaan Pertanahan di DIY Terjaga

8 Desember 2023

Menteri ATR Harap Aset Kesultanan dan Keistimewaan Pengelolaan Pertanahan di DIY Terjaga

Hadi Tjahjanto menjamin keistimewaan pengelolaan pertanahan dan aset Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Baca Selengkapnya

Konflik Lahan di Seputaran Jakarta yang Tak Ingin Jadi Rempang Kedua, Bersengketa dengan Penguasa

7 Oktober 2023

Konflik Lahan di Seputaran Jakarta yang Tak Ingin Jadi Rempang Kedua, Bersengketa dengan Penguasa

Konflik lahan tidak hanya terjadi di Rempang, Batam, Kepulauan Riau, tetapi juga di beberapa daerah. Ada yang bersengketa dengan TNI.

Baca Selengkapnya

Bentrokan di Lokasi Kebakaran Kapuk Muara, 130 Polisi Dikerahkan

5 September 2023

Bentrokan di Lokasi Kebakaran Kapuk Muara, 130 Polisi Dikerahkan

olres Jakarta Utara mengerahkan 130 anggotanya untuk berjaga di lokasi bekas kebakaran Kapuk Muara usai terjadi bentrokan

Baca Selengkapnya

Sengketa Tanah Dago Elos Bandung, Warga Lapor Lagi ke Polda Jabar

29 Agustus 2023

Sengketa Tanah Dago Elos Bandung, Warga Lapor Lagi ke Polda Jabar

Kuasa hukum mendampingi 4 warga Dago Elos yang melapor ke polisi. Materi serupa telah 3 kali disampaikan ke Polda Jabar dan Polrestabes Bandung.

Baca Selengkapnya

Sidang Sengketa Tanah, Paramount Land Kalah Gugatan Hampir 8000 Meter Persegi

31 Juli 2023

Sidang Sengketa Tanah, Paramount Land Kalah Gugatan Hampir 8000 Meter Persegi

Dua kelompok saling berhadap-hadapan saat sidang pembacaan sita jaminan yang digelar PN Tangerang di sebuah klaster perumahan milik Paramount Land.

Baca Selengkapnya

Kronologi Viralnya Warga Perumahan di Bekasi Terkungkung Pagar Beton, Pengembang Serobot Lahan

27 Juni 2023

Kronologi Viralnya Warga Perumahan di Bekasi Terkungkung Pagar Beton, Pengembang Serobot Lahan

Warga perumahan di Bekasi yang terkungkung pagar beton ternyata berawal dari penyerobotan lahan oleh pengembang.

Baca Selengkapnya

Warga Perumahan di Bekasi Terkungkung Pagar Beton, Satu Rumah Terancam Dibelah

27 Juni 2023

Warga Perumahan di Bekasi Terkungkung Pagar Beton, Satu Rumah Terancam Dibelah

Sebuah rumah di kompleks perumahan Cluster Green Village, Kota Bekasi, terancam dibelah buntut sengketa tanah pengembang dengan pihak ketiga.

Baca Selengkapnya