TEMPO Interaktif, Jakarta - Yayasan Sains Estetika Teknologi mengajak komunitas pers bersikap kritis terhadap Rancangan Undang-Undang Intelijen Negara. Alasannya, beleid itu sangat berkaitan dengan kerja jurnalistik karena membatasi informasi apa saja yang bisa diakses publik.
Padahal, tiap hari juru warta berusaha mengakses informasi dari berbagai badan publik, lantas mengolah dan menyajikannya kepada khalayak. "Semakin eksklusif informasi itu, semakin tinggi nilainya. Dalam menjalankan fungsi kontrol, tak jarang pers harus mempublikasikan dokumen yang dianggap rahasia oleh instansi tertentu," ujar Wakil Direktur Yayasan, Agus Sudibyo, dalam sebuah diskusi di Jakarta, 1 Juli 2011.
Menurutnya, pers yang ada di garis depan relasi komunikasi antara masyarakat dan penyelenggara negara rentan terkena dampak negatif beleid tersebut. Ada beberapa masalah dalam naskah Undang-Undang Intelijen yang berkait erat dengan pers, yaitu kerahasiaan informasi intelijen, juga wewenang penyadapan dan penangkapan oleh lembaga intelijen.
Ia mengaku heran melihat komunitas pers Indonesia seolah hanya menonton pergulatan politik antara parlemen, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat.
Agus berpendapat pers harus serius menyikapi perkembangan pembahasan beleid itu agar tak terlambat seperti dalam kasus pengesahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ataupun Undang-Undang Pornografi. Saat itu, kata Agus, pers telat sadar adanya beleid yang membahayakan kebebasan pers, lantas baru bereaksi keras saat ada yang jadi korbannya.
"Munculnya regulasi antikebebasan pers jangan-jangan tidak murni karena DPR dan pemerintah yang konservatif atau transaksional, tapi juga karena komunitas pers tidak berbuat signifikan untuk mencegahnya," tutur Agus.
Dia mendesak media massa dan juga Dewan Pers menyampaikan sikap politisnya terkait calon aturan itu. "Pers harus secara tegas meminta penundaan pengesahan UU Intelijen jika teryata pasal yang mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan informasi belum dihapuskan di dalamnya," katanya.