Pemuka Agama Tolak Data Intelijen Untuk Tangkap Tersangka
Reporter
Editor
Rabu, 23 Juli 2003 14:57 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Para pemuka agama menolak klausul laporan intelejen bisa menjadi bukti awal penangkapan seorang tersangka, sebagaimana diatur dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Anti-Terorisme. Alasannya, laporan lembaga intelejen bersifat rahasia sehingga tidak bisa dikenakan proses audit untuk diketahui publik. Bisa jadi senjata negara untuk menekan kelompok tertentu yang berbeda pendapat atau ideologi, itu bisa berbahaya. Itu jadi state terorism, kata Agus Gunadi, wakil Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) kepada Tempo News Room usai rapat dengar pendapat dengan Panitia Khusus Empat Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Anti Terorisme di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (17/2). Hadir dalam rapat yang dipimpin oleh pimpinan Pansus Sidarto Danusubroto itu sejumlah pemuka agama seperti Ketua Majelis Ulama Indonesia Cholid Fadlullah, utusan KWI Agus Gunadi, Ketua Persekutuan Gereja Indonesia Nathan Setiabudi, utusan Walubi Oka Diputhera dan Sekretaris Parisade Hindu Dharma Indonesia I Nyoman Widi Gusnawa. Mereka hadir untuk memberikan pandangan para tokoh agama terhadap isi RUU yang sedang dibahas Dewan. Lebih lanjut Agus mengatakan bahwa sebaiknya bukti awal proses penyelidikan terhadap kasus tindak pidana teror berasal dari lembaga kepolisian. Namun demikian, lanjut Agus, polisi tetap bisa menggunakan data yang diberikan intelejen sebagai masukan. Sementara Itu Cholid Fadlullah mengkritisi sejumlah pasal yang menurut kajian para ulama di MUI bermasalah. Ia mencontohkan pasal 45 yang dinilai terlalu memberikan kekuasaan yang besar bagi Presiden. Selain itu, lanjut dia, ketentuan dalam pasal 13 juga perlu diatur lebih spesifik. Ini karena pasal itu mengatur ketentuan bahwa seseorang bisa ditangkap karena membantu seseorang yang ternyata terlibat terorisme. Cholid menilai bahwa seseorang bisa dinyatakan terkait dengan pelaku tindak pidana terorisme dan terkena sanksi hukum jika telah mengetahui tindak pidana itu ketika membantu si pelaku. Secara umum para pemuka agama juga meminta agar sosialisasi pembahasan undang-undang ini ke masyarakat dilakukan secara intensif. Ini untuk menghindari penentangan masyarakat karena merasa takut dengan pemberlakukan undang-undang ini nantinya. Oka Diputhera mencontohkan terjadinya penolakan keras dimasyarakat terhadap undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya pada 1999. Sementara itu, Nathan Setiabudi menilai bahwa tindak pidana teror bisa juga dilakukan oleh negara. Jika pelaku tindak teror ini adalah negara maka caranya akan lebih terlihat dibandingkan jika dilakukan oleh kelompok sipil. Berkenaan dengan hal ini, politikus asal Fraksi Reformasi Mashadi menilai bahwa tindak pidana terorisme akan memiliki dampak destruksi yang lebih besar baik jumlah kuantitas korban ataupun kualitasnya jika dilakukan oleh negara. Mashadi menilai tindak pidana terorisme oleh negara sudah pernah dilakukan oleh negara luar ataupun Indonesia sendiri. Ia mencontohkan serangan balik Amerika Serikat terhadap Afghanistan atas peristiwa serangan 11 September. Tidak hanya menghancurkan infrastruktur tapi juga korban jiwa yang banyak, kata dia. Sementara untuk kasus Indonesia, ia merujuk kepada operasi militer yang dilakukan oleh Komandan Korem Garuda Hitam Hendropriyono terhadap sekelompok jamaah pengajian di Lampung yang menimbulkan korban jiwa rakyat tak berdosa. Hal yang sama, lanjut dia, pernah dilakukan oleh Panglima TNI (ABRI) Beny Moerdani terhadap masyarakat Tanjung Priok pada 1980-an. (Budi Riza--Tempo News Room)
Berita terkait
Permintaan Tambah Masa Jabatan Kepala Desa Dikabulkan, Kok Bisa?
1 menit lalu
Permintaan Tambah Masa Jabatan Kepala Desa Dikabulkan, Kok Bisa?
Permintaan para kepala desa agar masa jabatannya ditambah akhirnya dikabulkan pemerintah. Samakah hasilnya dengan UU Desa?