TEMPO Interaktif, SUMENEP - Sudah sepekan terakhir, warga di Pulau Kangean dan Pulau Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, dilanda kebingungan.
Penyebabnya, minyak tanah di wilayah kepulauan itu langka. Kalau pun ada, harganya melambung dari Rp 8.000 per liter menjadi Rp 12.000 per liter.
"Sudah mahal, minyak tanahnya gak ada. Kami jadi tidak bisa cari duit," kata Ahmat Salim, warga Pulau Sapeken, Selasa (5/4).
Menurut Salim, bagi warga kepulauan yang mayoritas bekerja sebagai nelayan, minyak tanah bukan hanya untuk kebutuhan memasak. Minyak tanah juga sangat dibutuhkan untuk dicamur dengan solar, sumber energi untuk menggerakkan motor perahu saat mencari ikan.
"Saat minyak tanah langka seperti sekarang, kami tidak bisa melaut, tidak bisa cari uang," ujar Salim.
Salim menjelaskan, kelangkaan minyak tanah mestinya tidak perlu terjadi. Sebab, BPH Migas pada tahun 2010 lalu sudah melakukan survei kebutuhan minyak tanah bagi warga kepulauan.
Saat itu BPH Migas menjanjikan akan tetap menyalurkan minyak tanah bersubsidi bagi warga di wilayah kepulauan meski telah dilaksanakan program konversi minyak tanah ke gas elpiji.
"Tapi mungkin itu hanya janji. Namun tidak direalisasi," ucapnya menyindir.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Tempo, fanatisme warga di wilayah kepulauan di Kabupaten Sumenep terhadap kebutuhan minyak tanah tampaknya sulit punah.
Warga bahkan tidak antusias ketika wilayahnya menjadi sasaran program konversi. Mereka tidak memahami rumitnya perhitungan pemerintah menekan penggunaan minyak tanah demi mengurangi beban subsdi.
Warga penerima paket konversi berupa tabung gas tiga kilogram, kompor, beserta selang dan regulator, malah dijual murah Rp 60 ribu. Para pengepul pun memburunya.
Nopember 2010 lalu, ratusan kepala desa di Sumenep, termasuk dari wilayah kepulauan, yang tergabung dalam Asosiasi Kepala desa, menyampaikan petisi agar pemerintah memberlakukan kebijakan khusus dalam soal distribusi minyak tanah.
Mereka meminta pemerintah tetap menyalurkan minyak tanah meski pemerintah menjalankan program konversi.
Atas desakan itulah pemerintah menugaskan BP Migas melakukan survei kebutuhan minyak tanah di Sumenep, terutama di wilayah kepulauan. Kesimpulannya, sebanyak 761 ribu liter minyak tanah akan terus disalurkan secara bertahap.
Kepala Bagian Perekonomian Sekertariat Kabupaten Sumenep Syaiful Bahri mengaku sudah mendapat laporan soal kelangkaan minyak tanah di wilayah kepulauan.
Syaiful mengatakan, kelangkaan terjadi karena agen minyak tanah telah menyetop ke wilayah kepulauan sejak tanggal 1 April lalu. Diduga penghentian itu karena Pertamina menganggap program konversi elpiji di wilayah kepulauan sudah berjalan.
Namun, kata Syaiful, dari sembilan kecamatan, baru tiga kecamatan yang telah rampung pendistribusian gas elpiji berkaitan dengan program konversi. ”Di enam kecamata lain baru terealisasi 15 persen. Mestinya minyak tanah jangan dihentikan karena realisasi program konversi belum rampung," paparnya.
Untuk memperjelas masalah tersebut, Pemerintah Kabupaten Sumenep berencana menanyakan langsung ke Pertamina UPDN V Surabaya, apakah benar pasokan minyak tanah ke wilayah kepulauan telah dihentikan.
"Kami juga akan menagih janji BPH Migas yang berjanji akan memasok 761 ribu liter minyak tanah ke kepulauan meski program konversi elpiji sudah selesai," ucapnya.
Menurut Syaiful, minyak tanah bagi warga kepulauan sangat vital. Selain untuk kebutuhan dapur dan campuran bahan bakar untuk melaut, minyak tanah juga dibutuhkan untuk lampu penerangan. Sebab, masih banyak warga yang rumahnya belum disentuh listrik PLN. MUSTHOFA BISRI.