TEMPO Interaktif, Jakarta: Majelis hakim Mahkamah Konstitusi, dalam sidang Kamis (6/11), mempertanyakan jenis pengujian yang diajukan dalam hak uji atas UU No. 11/2003 tentang perubahan UU No. 53 tahun 1999. UU ini mengatur tentang pemekaran wilayah kabupaten Kampar.Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di gedung DPR/MPR, Jakarta, ini pemohonnya adalah Pemerintah Kabupaten Kampar. Sidang dihadiri satu orang dari lima pemohon, yaitu Zulher, bersama kuasa hukumnya, Bahder Johan Nasution. Ketua majelis hakim Jimly Asshiddiqie menanyakan jenis pengujian yang diajukan. Ternyata pemohon masih belum jelas tentang perbedaan uji formal dan uji materil. Hakim menjelaskan bahwa uji formal adalah pengujian terhadap keseluruhan isi undang-undang, sedangkan uji materil hanya pada bagian-bagian tertentu. Secara spontan, Bahder mengemukakan, pengujian yang dimaksud adalah uji materil, yaitu pada pasal-pasal yang menyangkut posisi dan kedudukan tiga desa akibat pemekaran. Tapi, berdasarkan pengamatan majelis hakim, ternyata isi permohonan mendekati uji formal. Dalam sidang, Bahder menjelaskan, UU No. 11/2003 bertentangan dengan pasal 18 UUD 1945. Sebab, mekanisme pembentukan undang-undang ini tidak melibatkan Pemerintah Kabupaten Kampar. Padahal, daerah tersebut sangat dirugikan dengan aturan baru tersebut.Pemohon merasa dirugikan atas kepemilikan wilayah di tiga desa. Menurut UU No. 53/1999, tiga desa ini masuk Kampar. Tapi, dalam undang-undang yangbaru, desa-desa tersebut masuk ke Kabupaten Rokan Hulu. Menurut Bahder, masyarakat menginginkan tetap masuk Kabupaten Kampar karena hubungan emosional dan historis. Kuasa hukum pemohon minta waktu 14 hari untuk memperbaiki materi permohonan. Namun, hakim mmeintanya untuk konsultasi terlebih dahulu dengan kliennya. "Sebaiknya berunding dulu. Belum tentu pemohon setuju tentang pendapat spontan Anda,? kata Jimly. Mawar Kusuma - Tempo News Room
Berita terkait
Kemenag: Ibadah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Dideportasi hingga Denda Setara Rp 42,5 Juta
6 menit lalu
Kemenag: Ibadah Haji Tanpa Visa Resmi Terancam Dideportasi hingga Denda Setara Rp 42,5 Juta
Jemaah tanpa visa haji resmi bisa dikenakan sanksi deportasi dan dilarang memasuki Arab Saudi sesuai jangka waktu yang diatur UU