Balai Monitoring Surabaya Musnahkan Perangkat Siaran Tak Berizin
Senin, 27 September 2010 13:21 WIB
Pemusnahan dilakukan bersama instansi lainnya, seperti Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Pengadilan Negeri Surabaya dan Kepolisian Daerah Jawa Timur.
Piranti siaran yang dimusnahkan meliputi 10 buah alat komunikasi perorangan, dua perangkat radio AM rakitan serta 18 perangkat radio FM rakitan. Adapun perangkat siaran yang disita namun tidak dimusnahkan berjumlah 35 buah, yakni sembilan buah konsesi radio, 16 buah alat komunikasi perorangan, satu radio broacast AM rakitan, tiga radio FM rakitan dan enam unit wireless telepon.
Kepala Balai Monitoring Spektrum Kelas II Surabaya Purwoko menyatakan, perangkat siaran itu disita dari seluruh wilayah di Jawa Timur sejak era reformasi 1998 lalu. Selama ini mereka menggunakan frekuensi liar dan mengganggu frekuensi yang digunakan institusi lainnya.
Sebelum disita, kata Purwoko, sebenarnya mereka telah diberi waktu untuk mengurus ijin siaran. "Tapi mereka tidak mau mengurus ijin dengan dalih sekarang eranya bebas. Akhirnya alat-alatnya kami sita," ujar Purwoko.
Purwoko menambahkan, selama ini sering menerima komplain dari masyarakat karena penggunaan frekuensi liar itu menganggu siaran radio resmi. Selain itu, petugas bandar udara juga protes karena munculnya frekuensi liar itu sering mengganggu komunikasi antara pilot pesawat terbang dengan petugas bandara.
"Kami menegakkan aturan, karena penggunaan frekuensi tanpa ijin melanggar Pasal 58 Undang-Undang No. 46 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi serta Pasal 39, Pasal 45 ayat 1 dan ayat 3 KUHP," papar Purwoko.
Sebagian berkas penyidikan terhadap para tersangka penyalahguaan frekwensi, kata Purwoko, telah dilimpahkan ke kejaksaan. Oleh kejaksaan tiga diantaranya dinyatakan lengkap (P21) dan sisanya masih belum sempurna (P19). Bahkan ada terdakwa dalam kasus ini yang telah divonis 4 bulan penjara.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur Fajar Arifianto Isnugroho menambahkan, sebelumnya ada 400 lembaga penyiaran yang mengudara tanpa ijin. Tapi belakangan 300 di antaranya bersedia mengajukan ijin siaran. Adapun sisanya akan ditertibkan karena berpotensi menganggu. "Kami sedang mencari formulasi yang tepat untuk menertibkan siaran tanpa ijin itu, karena ada di antaranya yang dimiliki pondok pesantren," kata Fajar. KUKUH S WIBOWO.