Dalam siaran persnya, PWI Reformasi juga mengimbau, bila masyarakat pers Indonesia menginginkan adanya Hari Pers Nasional (HPN), seharusnya tidak mengambil momentum hari lahir suatu organisasi tertentu. Apalagi, organisasi PWI disebutkan jelas-jelas cacat politik dan cacat moral.
PWI Reformasi juga menyarankan, HPN bisa diangkat, misalnya, dari hari pertama terbitnya koran Soenda Berita (1903) atau Medan Prijaji (1907) terbitan Bandung. Sebab, kedua koran itu merupakan dua koran pertama yang dipimpin pribumi (RM Tirto Adhi Soerjo) dan yang pertama kali menggunakan bahasa Melajoe. Selain juga berasas nasionalisme dan diterbitkan sebagai koran perjuangan, penyuluh keadilan, tempat rakyat mengadu dan penganjur integrasi bangsa.
Selain itu, diusulkan pula HPN mengambil momen dari penerbitan pertama Benih Merdeka (Medan, 1916) pimpinan Moch. Joenoes. Koran ini dimodali Tengkoe Radja Sabaroeddin, bekas Wedana Jatinegara, dan dicetak oleh Percetakan Setia Bangsa, Medan.
Kemudian, bertepatan dengan HUT PWI ke-55 pada hari ini, PWI-Reformasi menyerukan agar pada hari jadinya ini PWI bertaubat dan meminta maaf kepada masyarakat pers Indonesia. Pasalnya, selama ini PWI telah berkhianat terhadap khittah-nya sendiri ketika organisasi tersebut didirikan sebagai organisasi perjuangan yang independen.