Orang Tua Bercerai, Dulmatin Diasuh Kakeknya Yang Kaya Raya
Jumat, 12 Maret 2010 16:40 WIB
TEMPO Interaktif, Pemalang -Bangunan tua di selatan jalan raya Petarukan yang berhadapan dengan bekas gedung bioskop di yang kini menjadi tempat tinggal sekaligus sanggar senam aerobik itu tampak rapuh oleh memudarnya cat. Lalu lalang arus jalan pantai utara dari Jawa Tengah menuju Jakarta di depan rumah, seakan tak memperdulikan kalau rumah tersebut menjadi saksi kelahiran orang yang selama ini paling dicari oleh Densus 88 Mabes Polri.
“Ia memang dilahirkan di rumah ini, namun pindah setelah kedua orang tuanya cerai,” ujar Haji Abu Bakar Sovie, paman Dulmatin alias Amar Usman atau Joko Pitono, yang kini menempati rumah tersebut.
Menurut dia, Dulmatin dengan nama kecil Joko Pitono terpaksa mengikuti kakeknya Raden Rahmat Haji Sovie, saat ibunya menikah lagi ketika usianya menginjak lima tahun. Joko Pitono saat itu diasuh kakek dan neneknya yang dikenal memiliki banyak tempat tinggal dan menjadi orang terkaya di Kabupaten Pemalang kala itu.
“Ia ikut mbah dan menempati rumah di jalan Semeru, Kelurahan Mulyoharjo Pemalang kota atau sering disebut sebagai kampung Arab,” ujar Abu Bakar, saat ditemui Tempo, Kamis 11 Maret lalu.
Abu bakar sendiri kurang mengetahui karakter Joko Pitono saat kecil, hal ini disebabkan oleh banyaknya kesibukan yang dilakukan oleh keluarga besar Sovie dalam mengolah bisnis pertanian, perkebunan dan sejumlah gedung bioskop.
Kakek Pitono sendiri seorang keturunan Arab yang meninggalkan limpahan warisan areal pertanian, perkebunan maupun sejumlah gedung pertunjukan di Kabupaten Pemalang. “Keluarga kami menanamkan kemandirian ekonomi untuk jalan ibadah juga dalam memilih profesi, jadi ya sibuk semua” ujar pria 64 tahun yang masih suka bermain musik di salah satu bekas gedung bioskop hasil warisan ini.
Kesibukan ini membuat Joko Pitono bersama saudaranya tak menetap dalam asuhan orang tua, mereka sering bergantian mengujungi kedua orang tuanya yang telah bercerai. Saat liburan ia ikut ayahnya Usman di kampung Loning yang masih wilayah kecamatan Petarukan untuk mengarap lahan pertanian, namun dalam kesempatan lain ia ikut ibunya Masniyati yang menikah kembali dan membuka usaha toko kelontong di belakang pasar Petarukan.
Kondisi ini menjadi hambatan untuk menelusuri kehidupan Amar saat kecil. Upaya Tempo mencari keterangan sejumlah tetanga maupun teman sepermainan saat mengunjungi rumah tua di jalan semeru Mulyoharjo kampung Arab Pemalang kota yang selama ini paling banyak menyisakan kehidupan kecil amar tak tercapai.
Rumah tersebut tertutup rapat, begitu pula kawan semasa kecilnya sulit ditemui, sejumlah tetangga pun mengaku hanya dengar nama Joko Pitono pada waktu lampau jauh. “Sekarang ditempati salah seorang tantenya yang sudah sepuh (tua),” ujar salah seorang tetangga yang enggan menyebutkan namanya.
Kondisi yang hampir sama juga terjadi di kampung Petarukan, sejumlah sumber yang ditemui Tempo mengaku tak ada yang menjadi teman dekat. Meski begitu rata-rata mereka menilai Pitono anak yang baik dan tak banyak tingkah. Bahkan mereka tak menyangka kalau Dulmatin yang disebut-sebut sebagai pentolan teroris dan ditembak mati di daerah Pamulang Banten adalah Amar alias Joko Pitono.
"Ia anak santun, giat ibadah dan tak banyak merepotkan orang tua. Itu aku ketahui saat ia masih duduk di SMP,” ujar Umar Azis 43 tahun, seorang tetangga yang rumahnya berjarak kurang dari 500 meter dari kediaman Pitono .
Menurut dia, Pitono sering mengikuti kegiatan di masjid jami yang dekat rumah yang kini ditempati pamanya. “Ia sering membawa buku untuk mencatat materi pengajian yang diadakan oleh IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah),” ujar Umar mejelaskan. Bahkan kegiatan ibadah jamaah dilakukan setiap waktu sholat. “Ini kan jarang dilakukan oleh anak seusia dia saat itu,” katanya.
Keyakinan yang sama juga diakui Agus Khumaidi, yang mengenal Dulmatin dengan nama Amar Usman saat sama-sama menggarap sawah di kampung Loning. Selain santun dan menghargai orang lain, Amar dikenal tegas dalam bersikap. Hal ini ia ketahui saat program intensifikasi tebu rakyat yang memaksa petani setempat untuk menanam tebu oleh pemerintahan orde baru.
“Amar secara tegas menolak meski diintimidasi oleh Koramil, ia rela tanahnya tak ditanami tebu karena dinilai merugian petani Loning yang lahanya tak cocok untuk tebu,” katanya.
Halnya Umar, Agus juga masih belum percaya atas matinya amar yang dituduh sebagai salah seorang otak teroris di Indonesia. “Aneh saja, karena dulu sikapnya tak konservatif maupun bicara extrem,” ujar dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pekalongan ini.
EDI FAISOL