TEMPO Interaktif, Pandeglang -- Nana Ikhwan Maulana, yang menjadi pelaku bom bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton pada 17 Juli lalu, diduga polisi bukan "orang baru". Pria, 28 tahun itu disebut-sebut terlibat dalam konflik rasial di Poso, Sulawesi Tengah, pada 2004. Dadang, seorang temannya di Cau, mengatakan Nana juga mengikuti pelatihan perang di daerah Cirata, Kecamatan Menes, Pandeglang, pada 2001. Saat digerebek polisi, Nana berhasil melarikan diri.
Menurut Fathoni, tokoh masyarakat setempat yang menjadi juru bicara keluarga Nana, pelaku pengeboman itu sering meninggalkan kampung dalam waktu lama, sering sampai tiga-empat bulan tidak pulang. Jika keluar rumah, kata Fathoni, Nana tidak pernah memberitahukan tujuannya secara terperinci. "Biasanya dia hanya bilang mau kerja ke luar kota."
Di Pandeglang, Fathoni melanjutkan, Nana tidak memiliki ustad khusus. Jika berada di desanya, Nana mengikuti kegiatan pengajian dan ceramah agama dari ustad siapa pun.
Tapi, menurut Fathoni, yang sering menjadi tempat "curhat" Nana, pemuda ini dendam terhadap Amerika dan Israel. Nana sering mengeluh kepadanya bahwa dirinya sangat membenci Amerika dan Israel, yang telah memerangi negara-negara Islam. Nana juga sangat gelisah jika menyaksikan perang antara Amerika dan Afganistan serta Irak.
Puncak kebencian Nana terhadap Israel dan Amerika adalah saat Israel menggempur Gaza, Palestina, pada awal 2009. Menurut Fathoni, Nana sangat ingin berangkat ke Palestina untuk berjihad. "Mungkin itu yang membuat ia mudah direkrut menjadi 'pengantin' bunuh diri oleh orang seperti Noor Din M. Top," katanya.
Kemarin, jenazah Nana dikuburkan di kampung halamannya di Kebon Cau (bukan Cawu seperti ditulis kemarin), Labuan, Pandeglang, Banten. Setelah dipastikan lewat tes DNA terhadap ibu dan dua kakaknya pada Rabu lalu, kemarin siang polisi menyerahkan mayat Nana kepada keluarga.
MABSUTI IBNU MARHAS | CORNILA DESYANA | Nur Rochmi