Pro - Kontra TNI Berbisnis, Bivitri Susanti: Langkah Mundur ke Zaman Sebelum Reformasi
Reporter
Sukma Kanthi Nurani
Editor
S. Dian Andryanto
Kamis, 25 Juli 2024 12:12 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wacana mengizinkan kembali prajurit TNI berbisnis telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan pakar. Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia yang memungkinkan prajurit TNI terlibat dalam kegiatan bisnis memicu perdebatan sengit.
Pendukung kebijakan ini berargumen bahwa keterlibatan TNI dalam bisnis dapat membantu kesejahteraan prajurit dan meningkatkan kontribusi ekonomi. Namun, para penentang khawatir hal ini akan mengembalikan praktik dwifungsi yang merusak profesionalisme TNI dan membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengkritik lemahnya pemerintah sebagai otoritas sipil dalam mengawasi anggota TNI yang berbisnis. Usman menengarai pemerintah tak akan mampu mengubah praktik tersebut, tapi justru menormalisasinya.
"Enggak bisa diubah oleh pemerintah, oleh otoritas sipil. Hal yang akhirnya terjadi, ya, sudahlah kita bolehkan saja lah," ujar Usman seusai pertemuan nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Jakarta Pusat, Kamis, 18 Juli 2024. "Apalagi dengan booming industri ekstraktif, dari mulai tambang batu bara, tambang emas, tambang nikel, dan tambang lainnya."
Menurut Usman, pelarangan TNI berbisnis pada akhirnya hanya menunjukkan sikap pemerintah yang tak kuasa menghentikan aktivitas tersebut.
Buktinya, kata dia, TNI leluasa memperdagangkan jasanya sebagai juru pengaman di banyak lahan milik swasta. Praktik bisnis itu tetap berjalan meski ada larangan. "Lihat saja kalau di Jakarta, tanah ini berada dalam pengawasan Kodam Jaya dengan PT swasta," ujar Usman mencontohkan.
Di sisi lain, kepala Staf TNI Angkatan Darat atau KSAD, Jenderal Maruli Simanjuntak setuju dengan usulan prajurit TNI boleh berbisnis. Dia menyinggung soal kebutuhan ekonomi para prajurit militer. Menurut dia, kebutuhan prajurit TNI saat ini tidak sedikit. Salah satunya ialah kebutuhan biaya pendidikan untuk anak-anak.
Karena faktor ekonomi dan kebutuhan itu, Maruli menilai larangan berbisnis bagi prajurit TNI semestinya dihapuskan. Namun, ia mengimbau agar prajurit TNI tetap wajib mengikuti apel pagi dan apel petang secara rutin. "Yang penting hadir (bertugas)," katanya.
Sementara ini, wacana revisi ini juga menuai kritikan dari beberapa pihak. Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, adalah salah satu yang menolak dan mengkritisi pencabutan larangan bagi prajurit untuk berbisnis dalam perubahan aturan itu.
"Tentu saja itu tidak boleh dilakukan," ujar Bivitri Susanti usai mengisi acara diskusi bertajuk Kudatuli, Kami Tidak Lupa di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau DPP PDIP pada Sabtu, 20 Juli 2024.
Bivitri menilai bahwa pemberian kewenangan berbisnis kepada TNI merupakan langkah yang keliru. Menurut dia, TNI harus tetap berada di pertahanan dan keamanan. Lebih dari itu, TNI memiliki pengaruh besar di kehidupan sosial masyarakat.
"Tentara itu kewenangannya terbatas sekali untuk pertahanan. Dia pegang senjata dan dia juga punya kekuatan kultural juga," ujarnya.
Bivitri menganggap pencabutan larangan bagi TNI untuk berbisnis sama dengan kembali mundur ke zaman sebelum reformasi. Dia menyebut revisi UU TNI ini akan memberikan akses yang besar bagi militer untuk masuk ke ranah di luar fungsi semestinya.
"Ini akan membuka jalan yang terlalu luas untuk militer masuk ke dalam dunia ekonomi dan politik," ujarnya.
Sementara itu, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) masih menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi Undang-undang TNI Nomor 34 Tahun 2002. Rapat penyusunan DIM revisi UU TNI ini kembali diadakan pada Rabu, 24 Juli 2024, di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta.
Rapat tersebut dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenkopolhukam, Sugeng Purnomo. Setelah rapat, Sugeng menyatakan bahwa ia belum bisa mengungkapkan isi pembahasan penyusunan DIM revisi UU TNI tersebut.
SUKMA KANTHI NURANI | MHD RIO ALPIN PULUNGAN | SAVERO ARISTIA WIENANTO | NOVALI PANJI NUGROHO
Pilihan Editor: Respons Moeldoko dan Maruli Simanjuntak Soal TNI Boleh Berbisnis, KSAD: Dua Tiga Jam Ngojek Kan Lumayan