Pembangunan RDF Rorotan, Heru: Salah Satu yang Terbesar di Dunia
Senin, 1 Juli 2024 14:54 WIB
![](https://statik.tempo.co/data/2024/07/01/id_1315027/1315027_720.jpg)
INFO NASIONAL – Pengerjaan pembangunan Refuse Derived Fuel (RDF) Plant di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, dipastikan terus berlanjut. Infrastruktur pengelola sampah ini digadang-gadang dapat menjadi capaian sejarah.
“Fasilitas ini akan menjadi salah satu yang terbesar di dunia,” ujar Penjabat (Pj.) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, seperti dimuat tempo.co pada 13 Mei 2024. Ia mengungkapkan, fasilitas ini mampu memproses hingga 2.500 ton sampah per hari dan menghasilkan RDF sebanyak 875 ton per hari.
Penanggung jawab proyek, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta, menargetkan konstruksi selesai pada 2024 ini. Kemudian berlanjut pada tahap commissioning dan operasional pada 2025.
Kepala DLH Provinsi DKI Jakarta Asep Kuswanto menjabarkan, kontrak design and build sejak 26 Maret 2024. Dalam beberapa bulan saja, progres pembangunannya tetap positif.
“Per 24 Mei 2024 mencapai 13,90 persen. Meliputi pekerjaan perancangan (design development), pekerjaan tanah, pemancangan, dan pengadaan mesin-mesin pengolahan sampah,” katanya.
Satu hal menarik, lanjutnya, kapasitas sampah yang dikelola RDF Plant Rorotan saat nanti beroperasi akan lebih banyak dibanding RDF Plant Bantargebang. Yakni 2.500 ton/hari untuk memproses sampah baru, dengan produk RDF minimal 875 ton/hari yang memenuhi spesifikasi bahan bakar untuk industri semen.
Sedangkan Kapasitas RDF Plant Bantargebang mencapai 2.000 ton sampah per hari, yang terdiri atas 1.000 ton/hari sampah baru dan 1.000 ton/hari sampah lama dari landfill mining. Sementara RDF yang akan dihasilkannya mencapai 700 ton/hari.
Adapun pabrik semen yang akan memanfaatkan produk RDF Rorotan serupa dengan hasil keluaran RDF Bantargebang. “PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. telah menyampaikan surat kesediaan sebagai off-taker,” ucap Asep. Seluruh produk RDF Rorotan kelak dikirim di pabrik Indocement di Citeureup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Menurut Asep, Dinas DLH telah memastikan langkah mitigasi, bahkan sejak perencanaan dan pembangunan RDF Rorotan. Pencegahan pertama yakni meminimalkan bau dengan desain hanggar utama penerimaan dan pengolahan sampah berbentuk tertutup serta dilengkapi sistem pengendali bau.
Kemudian, sistem pengering mekanis RDF akan dilengkapi dengan alat pengendali emisi (Cyclone dan Wet Scrubber), sehingga emisi memenuhi baku mutu lingkungan. “Kami juga akan mengoptimalkan penggunaan Truk Compactor untuk mengangkut sampah dari sumber menuju ke RDF Rorotan, sehingga meminimalisasi bau dan ceceran lindi di sepanjang rute perjalanan,” tutur Asep.
Untuk mencegah polusi udara, RDF Rorotan akan dilengkapi Stasiun Pemantauan Kualitas Udara (SPKU) yang dapat terkoneksi dengan sistem informasi DLH Provinsi DKI Jakarta. untuk memonitor kualitas udara ambien di dalam kawasan RDF. “Secara berkala kami akan melaksanakan pemantauan kualitas lingkungan sebagaimana yang dimuat dalam dokumen Amdal RDF Rorotan,” jelas Asep.
Sedangkan untuk mencegah pencemaran air tanah, Asep memastikan, RDF Rorotan sama seperti RDF Bantargebang yang dilengkapi Instalasi Pengolahan Air Limbah/Lindi (IPAL), dengan metode Advanced Oxidation System (AOP), sehingga hasil olahan lindi dapat memenuhi baku mutu lingkungan dan tidak mencemari badan air/sungai maupun air tanah.
Urban Campaign Team Leader Greenpeace, Muharram Atha Rasyadi, mengapresiasi upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatasi masalah sampah. Namun, ia mendorong tata kelola sampah diprioritaskan pada sektor hulu, yakni pemilahan sampah dari rumah tangga.
“Teknologi RDF dan ITF (Intermediate Treatment Facility) sebenarnya sudah banyak ditinggalkan oleh negara-negara maju. Kalaupun harus ada RDF, langkah ini berada di tingkat terbawah dalam tata kelola sampah,” ungkapnya saat bertemu Info Tempo, Rabu, 26 Juni 2024.
Ia memaparkan, penanganan sampah di level teratas pada sisi hulu adalah pemilahan. Pemisahan antara sampah organik dan anorganik ini merupakan proses pengurangan atau reduce. Sebagai contoh, sampah organik dapat dimanfaatkan untuk peternakan maggot atau pembuatan kompos. Kemudian level selanjutnya, seiring pengumpulan di tempat pembuangan sampah akhir adalah langkah guna ulang (reuse) dan daur ulang (recyle).
“Jadi, jika semua proses itu sudah dijalankan, dan masih ada residu, barulah bisa menggunakan teknologi seperti RDF. Itu pun untuk sampah residu,” terangnya.
Selain pemilahan, Atha juga lebih mendorong pemerintah lebih tegas dalam mengajak pihak produsen bertanggung jawab terhadap limbah produk mereka. Hingga kini, masih banyak produsen menggunakan kemasan plastik tanpa memikirkan bagaimana proses penanganannya kemudian. “Jadi, jangan berfokus di sektor hulu, tanpa upaya mengurangi produk penghasil sampah,” bebernya.
Senada Atha, Ibar Akbar selaku Corporate Plastics Campaign Project Leader Greenpeace mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk memprioritaskan penanganan sampah di sektor hulu. “Tidak cukup melalui imbauan atau kampanye, tapi harus didukung oleh regulasi yang kuat,” tegasnya.
Peraturan Gubernur Nomor 142 Tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan di Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan dan Pasar Rakyat, menjadi contoh kesuksesan Pemprov DKI menekan sampah plastik beredar luas di tengah masyarakat.
Berkat regulasi tersebut, masyarakat akhirnya terbiasa dan mau menyiapkan wadah alternatif saat berbelanja. “Peraturan itu kan memaksa, sehingga masyarakat mau tak mau harus menuruti dan kini terbiasa menjalankan pola belanja yang minimal plastik,” urai Ibar.
Ia berharap, muncul pula peraturan yang mewajibkan rumah tangga memilah sampah. Selain regulasi yang tegas, Ibar dan Atha meminta Pemprov DKI Jakarta mengedukasi Sumber Daya Manusia (SDM) tata kelola sampah, khususnya para petugas kebersihan, agar menjalankan proses pemilahan limbah sejak pengangkutan di rumah tangga.
“Selama ini para petugas masih sembarangan mencampur sampah saat pengangkutan. Padahal kalau mereka sudah disiplin memisahkan, bisa sekaligus melatih masyarakat. Sampai di TPA pun akan lebih mudah dipisahkan mana yang sampah organik dan anorganik,” tandas Atha.
Pernyataan Greenpeace sejatinya sejalan dengan misi Pj. Gubernur Heru. Sebelumnya, ia pun menyatakan, pembangunan RDF hanya sebagian kecil dari upaya Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi masalah sampah, dengan harapan bisa mengurangi biaya tipping fee.
“Jakarta harus mengelola sampahnya dengan cara yang berkelanjutan. Salah satunya dengan memprioritaskan pengolahan sampah dalam kota,” pungkas Heru. (*)