Respons Guru Besar UIN dan PBNU soal Fatwa MUI terkait Salam Lintas Agama
Reporter
Tempo.co
Editor
Andry Triyanto Tjitra
Senin, 3 Juni 2024 08:32 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia atau MUI melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia 2024 telah menetapkan ketentuan ucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU dan Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta memberikan tanggapannya mengenai fatwa MUI itu.
Guru Besar UIN: Tidak bersifat absolut
Guru Besar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Ahmad Tholabi Kharlie menekankan bahwa fatwa tidak bersifat absolut, kecuali kepada orang yang meminta fatwa atau mustafti.
"Akan selalu ada tafsir-tafsir berbeda berdasarkan pemahaman atas teks-teks suci. Publik harus bijak dan bajik. Tidak saling klaim kebenaran mutlak atau menghujat suatu pendapat hukum tertentu," katanya dalam keterangan di Jakarta, Sabtu, 1 Juni 2024, seperti dikutip Antara.
Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta itu juga menekankan bahwa fatwa sebagai produk pemikiran Hukum Islam bersifat relatif dan tidak mengikat.
Dia menjelaskan salam lintas agama tentu harus ditempatkan pada porsi yang tepat, dan berkaitan dengan pelaksanaan fatwa yang dikeluarkan MUI.
Menurutnya, tak mungkin dan tak lazim salam lintas agama dilakukan dalam forum internal umat Islam, seperti dalam khutbah Jumat, atau pengajian keagamaan yang hanya dihadiri oleh internal umat Islam. Namun, menjadi hal lazim salam lintas umat beragama dilakukan di forum publik.
"Apalagi dalam forum yang diselenggarakan oleh lembaga publik, pemerintahan, atau forum-forum resmi lintas agama lainnya. Itu konteksnya forum eksternum (eksternal), publik. Ini menjadi bagian dari ikhtiar membangun harmoni antarumat beragama," ujarnya.
Terkait hal tersebut, Tholabi menuturkan ada kalanya kaidah agama dapat diakomodasi melalui kaidah hukum, tapi ada kalanya juga kaidah agama tidak dapat diakomodasi melalui kaidah hukum.
Ia menilai, fatwa MUI masuk ke dalam kategori kaidah agama yang tak dapat diakomodasi dalam kaidah hukum positif.
Untuk itu, ia menyebut bahwa fatwa tersebut tidak ditujukan dalam konteks eksternal umat Islam.
"Di sini pentingnya pemilahan forum internum dan eksternum (internal dan eksternal -red). Negara menjamin setiap umat beragama dalam mengekspresikan agama dan keyakinannya. Itu konteksnya forum internum. Dalam forum eksternum, negara berkewajiban membangun harmoni antarumat beragama," tutur Tholabi.
<!--more-->
PBNU: Belum lakukan kajian
Sementara PBNU menegaskan pihaknya belum pernah melakukan kajian secara mendalam dan membahas secara intens ihwal masalah salam lintas agama.
"PBNU belum pernah melakukan kajian secara mendalam dan membahas secara intens dalam berbagai forum resmi yang ada di lingkungan NU mengenai salam lintas agama," ujar Katib Aam PBNU KH Ahmad Said Asrori dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu, 1 Juni 2024 seperti dikutip Antara.
Ahmad merespons Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII di Bangka Belitung yang menghasilkan panduan hubungan antar-umat beragama berupa fikih salam lintas agama yang menuai pro dan kontra.
"PBNU tidak menugaskan dan memberikan mandat kepada siapa pun untuk berbicara atau menyampaikan pandangan tentang salam lintas agama," tuturnya.
Dia menyebutkan pembahasan atau kajian mengenai salam lintas agama selain dari hasil Ijtima Ulama juga pernah dilaksanakan oleh Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur. Kajian tersebut dilakukan melalui forum Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur pada 2019.
Menurut dia, dalam kesimpulan Bahtsul Masail PWNU tersebut, disebutkan pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh atau diikuti dengan ucapan salam nasional, seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua, dan seterusnya.
"Namun, dalam kondisi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama," ucap Ahmad.
<!--more-->
Penjelasan MUI
Adapun Wakil Sekretaris Jenderal MUI Arif Fahrudin mengatakan, MUI memutuskan mengucapkan salam lintas agama bukan implementasi dari toleransi. Fatwa itu ditetapkan melalui Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII. Arif menuturkan toleransi beragama tetap memiliki batas.
"Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi. Yang tidak diperkenankan Islam adalah motif mencampuradukkan wilayah akidah dan ritual keagamaan, sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah," ujar Arif dikutip dari situs web resmi MUI, Sabtu, 1 Juni 2024.
Meski begitu, dia menegaskan toleransi antarumat beragama sangat penting, seperti yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad. Dia menyebutkan karakter itu sangat dicintai oleh Allah SWT.
Menurut Arif, keputusan dari fatwa itu telah memperhatikan pertimbangan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang plural. Dia mencontohkan, apabila ada suatu wilayah yang penduduknya minoritas beragama Islam, maka secara budaya mereka tak bisa menghindari tradisi interaksi lintas agama.
Sebab, kata dia, sikap itu dinilai sebagai bentuk kerukunan. Jika tidak melakukan salam lintas agama, ada kekhawatiran Islam dipandang tidak mendukung kerukunan antarumat beragama. Maka, mereka dianggap memiliki alasan untuk bersalaman selama tidak diniatkan sebagai ibadah amaliah dan akidah. Begitupun dengan pejabat publik misalnya, ketika menyampaikan sambutan.
“Pejabat juga diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Namun, jika hal di atas tidak memungkinkan, maka pejabat publik atau pejabat di pemerintahan juga mendapat alasan syar'i dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah, ” ujarnya.
Arif yakin rakyat Indonesia sudah memahami makna toleransi beragama sehingga mereka tidak langsung menghakimi orang yang tidak mengucapkan salam lintas agama. Dia mengatakan jangan sampai ada yang menilai mereka intoleran atau antikebangsaan. Sebaliknya, jika mengucapkan salam lintas agama, otomatis dianggap toleran.
Dia menegaskan pentingnya menjaga moderasi beragama dengan memposisikan toleransi antarumat beragama dengan proporsi yang sama.
"Saling menghormati, saling menghargai, dan saling memperkuat kerukunan tanpa terjebak ke dalam praktik ekstremisme yang sempit dan toleransi yang melewati batas akidah dan syariah," tuturnya.
AISYAH AMIRA WAKANG | ANTARA
Pilihan Editor: Respons PBNU Soal Polemik Salam Lintas Agama