Penyaluran Kompor Gas Bersubsidi Diwarnai Pungutan Liar
Selasa, 7 Juli 2009 20:31 WIB
TEMPO Interaktif, Malang - Puluhan warga Desa Sekarbanyu Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang melakukan aksi potres di balai desa setempat, Selasa (7/7). Warga yang terdiri dari tokoh masyarakat setempat memprotes kepala urusan umum Pemerintahan Desa Sekarbanyu, Geger Asmono, yang melakukan pungutan dalam penyaluran paket kompor gas elpiji dalam program konversi energi.
Mereka menuntut, agar geger dicopot dari jabatannya. MenurutSuyanto, salah seorang warga desa setempat pungutan tersebut dilakukan bersamaan dengan penyerahan paket kompos gas elpiji. Setiap keluarga dibebani pungutan sebesar Rp 10 ribu dengan alasan untuk biaya pengisian gas elpiji. "Padahal di daerah lain gak ada pungutan," katanya.
Menurut Suyanto, awalnya warga tidak berani menolak karena diancam tak akan mendapat paket kompor gas elpiji bagi warga yang menentangnya. Hingga kini, pihaknya juga tak mengetahui aliran uang yang sebesar Rp 6,5 juta lebih yang dikumpulkan dari masyarakat. Total, warga penerima paket kompor sebanyak 654 keluarga.
Suyanto menuntut agar pemerintahan desa setempat memberikan penjelasan dan menjatuhkan sanksi tegas untuk Geger. Kepala Desa Sumberbanyu, Suwaji berjanji akan menyelesaikan perkara ini selesai pemilihan presiden. Untuk itu, warga diminta bersabar dan tak bergejolak selama pemilihan presiden. "Kami juga belum memintai keterangan pak Geger," jelasnya.
Ia menjelaskan, tak ada pungutan apapun dalam penyaluran paket kompor gas elpiji ini. Suwaji juga mengaku tak diajak berkoordinasi dalam penyaluran program pemerintah ini. Ia baru mengetahui setelah terjadi aksi dari masyarakat setempat.
Aksi warga ini mendapat pengamanan dari aparat kepolisian. Massa membubarkan diri setelah Suwaji berjanji akan menyelesaikan perkara ini. Di Kecamatan Sumbermanjing Wetan, pada tahap awal diperkirakan sebanyak 20 ribu penerima paket kompor gas tersebar di 15 Desa. Rata-rata terjadi pungutan antara Rp 2 ribu hingga Rp 3 ribu dengan alasan biaya transportasi.
EKO WIDIANTO