Refleksi Akhir Tahun 2023, FSK ITB: Intelektual Semakin Tumpul, Kekuasaan Kian Koruptif
Reporter
Ananda Bintang Purwaramdhona
Editor
S. Dian Andryanto
Senin, 1 Januari 2024 13:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi Bandung (FSK ITB) mengadakan diskusi Refleksi Akhir Tahun: Kebudayaan, Intelektual, dan Kekuasaan pada Sabtu, 30 Desember 2023. Guru Besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Yasraf Amir Piliang mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan respons terhadap peristiwa politik yang terjadi selama 2023.
“Kita sedang menghadapi masalah berat tentang kebudayaan, intelektualitas, dan kekuasaan. Apa yang dihadapi kita sekarang merupakan hancurnya keadaban di dunia politik. Pejabat tidak peduli lagi bahwa dia harus jadi panutan. Itu yang akan kita refleksikan pada acara FSK kali ini,” kata Yasraf sebagai pengantar diskusi.
Diskusi tersebut dipandu Harifa Ali Albar Siregar dengan memulainya melalui suatu pertanyaan tentang keterkaitan antara kebudayaan, intelektualitas, dan kekuasaan.
“Intelektual dan budayawan yang seharusnya hadir dengan kritik terhadap kekuasaan untuk menyeimbangkan demokrasi justru semakin tumpul. Lalu, apa yang membuat kebudayaan dan intelektual semakin tumpul akhir-akhir ini di Indonesia?” ujar Harifa.
Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Studi Komunikasi, Media, dan Budaya Unpad Kunto Adi Wibowo menjelaskan bahwa sebenarnya perguruan tinggi di Indonesia semakin banyak jumlahnya. Hal itu menurutnya bisa jadi indikator bahwa rezim tidak alergi terhadap pendidikan tinggi yang di sisi lain institusi itu menghasilkan para intelektual untuk mengkritik pemerintah atau bahkan kompetitor untuk menjadi penguasa. "Tetapi menariknya intelektualitas di Indonesia justru semakin tumpul,” ujar Kunto.
Menurut Kunto, fenomena tumpulnya intelektualitas di Indonesia mirip dengan yang terjadi di Cina. Pemerintah Cina melakukan tiga hal untuk membuat intelektualitas menjadi tumpul. Pertama, yakni dengan melakukan kontrol lewat mentorship politik terhadap mahasiswa, dosen, dan peneliti.
“Kedua, mahasiswa didorong untuk kerja-kerja sosial agar mahasiswa merasa lebih senang pada kegiatan-kegiatan yang seolah-olah memberikan dampak nyata. Itu yang jadi salah satu faktor agar mahasiswa tidak melakukan diskusi karena hal itu dapat membuat mahasiswa kritis dan berbahaya bagi kekuasaan,” jelas Dosen Komunikasi Unpad itu.
Sementara itu, hal ketiga yang dilakukan untuk menumpulkan intelektualitas adalah dengan menggenjot universitas bertaraf World Class University. Menurut Kunto, hal itu cukup familiar dengan keadaan intelektualitas di Indonesia saat ini. “Para dosen kemudian disibukkan dengan berbagai macam prosedur agar universitasnya bertaraf World Class University seperti harus melakukan penelitian terindeks scopus dan dianggap satu-satunya indikator intelektualitas,” kata Kunto.
Selaras dengan Kunto, Aktivis Studia Humanika ITB Alfathri Adlin menyebut bahwa kekuasaan hari ini tidak menggunakan pakar atau ahli untuk menyelesaikan suatu masalah. “Kekuasaan hari ini memilih menyelesaikan suatu urusan hanya berdasarkan dukungan partai politik bukan intelektualitas. Pemilihan menteri misalnya hanyalah soal mendukung atau tidak pada pemerintah, bukan berdasarkan ahlinya,” ucap Alfathri.
Menurut Alfathri, intelektualitas saat ini justru dibayar kekuasaan untuk memberikan legitimasi terhadap suatu kebijakan pemerintah atau bahkan mendukung pemerintah. “Bahkan beberapa tenaga pendidik termakan solusi instan dari gencarnya strategi kampanye salah satu pasangan calon presiden lewat Bantuan Tunai Langsung. Hal itu memang seolah-olah jadi solusi konkret padahal itulah yang membuat intelektualitas jadi tumpul. Intelektual harusnya lebih cinta dengan ilmu dibandingkan uang,” jelasnya.
Acara ditutup dengan refleksi puitik dari Ketua FSK ITB Acep Iwan Saidi. Dalam refeleksi itu, Acep merespons tragedi intelektual yang tengah terjadi di Indonesia. Menurutnya, Intelektual di Indonesia saat ini ada yang beberapa terbawa arus kekuasaan sehingga tidak ada lagi nalar kritis terhadap kekuasaan.
“Dari 2014 atau ketika rezim Jokowi berkuasa, diskusi-diskusi kebudayaan yang berelasi dengan kekuasaan itu sudah selesai. Tidak ada kritik dan seolah-olah kekuasaan telah jadi sempurna. Hal itu terjadi karena kebudayaan dan para pelaku kebudayaan serta intelektual telah terbuai dengan kekuasaan,” kata dosen ITB itu.
Meskipun begitu Acep menganggap bahwa tidak ada masalah jika seorang intelektual dan pelaku kebudayaan mendukung Paslon 1,2, dan 3. “Tetapi ketika Paslon menang, mereka seharusnya pergi dan mengambil jarak dari kekuasaan untuk mengkritik kekuasaan agar tidak terbuai,” kata Acep.
Acep kemudian membacakan sebuah puisi tentang kondisi politik hari ini. “Kita tidak punya politik, kecuali jika politik itu cara konstitusi diutak-atik. Kita tidak punya politik, kecuali politik itu hukum yang dibutarbalik,” teriak Acep.
Pilihan Editor: Akhirnya Tema Kebudayaan Masuk Dalam Debat Capres Cawapres Pada Pilpres 2024, Ini Respons Budayawan