Mendorong Percepatan Aturan Pelaksanaan UU TPKS
Kamis, 16 Maret 2023 11:00 WIB
INFO NASIONAL - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mendorong aturan pelaksanaan Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) segera diterbitkan.
"Sudah hampir setahun sejak UU TPKS disahkan, efektivitas UU itu untuk menjadi payung perlindungan korban kekerasan seksual belum memadai dalam mencegah sekaligus memutus rantai kekerasan seksual," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Efektivitas UU TPKS Meredam Kekerasan Seksual yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 pada Rabu, 15 Maret 2023.
Belum efektifnya UU TPKS saat ini disebabkan belum adanya aturan pelaksanaan. Selain itu, pemahaman aparat hukum terkait UU TPKS masih kurang dan sejumlah fasilitas penanganan korban juga belum efektif.
Karena itu, Rerie—sapaan akrab Lestari— mengajak para pakar dan masyarakat yang telah memperjuangkan lahirnya UU TPKS ikut mendorong lahirnya sejumlah aturan turunannya agar UU TPKS bisa segera diaplikasikan.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu prihatin pascalahirnya UU TPKS, sejumlah kasus tindak kekerasan seksual malah diselesaikan di luar pengadilan yang berujung damai dan merugikan korban.
Analis Kebijakan Ahli Madya Deputi PHP Kementerian PPPA, Agus Wiryanto mengungkapkan amanah UU No12/2022 tentang TPKS adalah agar ada aturan turunan dalam bentuk tiga Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres). Hingga saat ini, jelas Agus, Pemerintah tengah memproses sejumlah aturan pelaksanaan tersebut dan diperkirakan akan tuntas pada Juni 2023.
Pemerintah, jelas Agus, juga memahami mendesaknya aturan pelaksanaan UU No.12/2022 tentang TPKS hadir, melihat semakin maraknya kasus kekerasan seksual saat ini.
Selanjutnya, Komisioner KPAI Dian Sasmita mengungkapkan di saat status darurat kekerasan seksual sudah dicanangkan, kasus TPKS terhadap anak malah naik di Indonesia.
Dian juga berpendapat agar hak pemulihan terhadap anak korban tindak kekerasan seksual tidak hanya diberikan pada saat kasus berlangsung, tetapi yang terpenting hak pemulihan anak juga diberikan pascakasus kekerasan seksual terjadi.
Dian berharap dalam sejumlah pasal UU TPKS dan aturan turunan tersebut harus mampu memastikan hak penanganan, pemulihan dan hak atas perlindungan bagi anak korban tindak kekerasan seksual. Dian mendorong agar aturan turunan UU TPKS juga memberi jaminan yang tegas terkait kasus anak sebagai pelaku kekerasan.
Hakim Pengadilan Tinggi Bandung Ihat Subihat menjelaskan, di Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat sudah menggunakan UU No.12/2022 dalam kasus pemerkosaan 13 santri dan pelakunya dijatuhi vonis pidana mati.
Menurut Ihat, efektivitas UU TPKS sangat tergantung pada sejumlah faktor seperti antara lain keberanian korban melapor. Seringkali terjadi korban takut melapor karena takut dituntut balik, takut nama baik tercemar.
Sehingga, jelas Ihat, untuk meningkatkan efektivitas UU TPKS harus dicarikan sejumlah cara yang mampu menekan sejumlah ketakutan tersebut.
Menanggapi hal itu, Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad berpendapat, meski di Pengadilan Tinggi Bandung sudah menggunakan UU No.12/2022 tentang TPKS dalam menangani kasus TPKS di wilayahnya, tetapi secara umum aparat penegak hukum belum berani menggunakan UU TPKS dalam kasus kekerasan seksual yang dihadapi.
Karena, tambah Bahrul, sosialisasi UU TPKS masih sangat kurang sehingga masyarakat dan korban kekerasan seksual tidak memahami apakah yang dialaminya merupakan tindak kekerasan seksual atau bukan. "Sosialisasi itu sangat penting," ujar Bahrul.
Pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023 terungkap 3.442 kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Dari laporan itu sebesar 60 persen kasus merupakan kekerasan domestik, 37 persen kasus kekerasan publik dan sisanya kekerasan di ranah negara.
Pada kasus kekerasan di ranah domestik, menurut Bahrul, yang terbesar adalah kekerasan seksual dalam pacaran. Kondisi itu, ujar dia, menyiratkan literasi anak perempuan terkait kekerasan seksual sangat rendah.
Sedangkan Ketua II HWDI Rina Prasarani menyoroti penyandang disabilitas yang memiliki kerentanan berganda dalam ancaman tindak kekerasan seksual. Upaya perlindungan dari tindak kekerasan seksual harus diawali dengan edukasi masyarakat, serta penyandang disabilitas.
Rina menilai, sosialisasi UU TPKS sangat penting karena sosialisasi itu merupakan bagian dari edukasi kepada masyarakat. Bila terjadi tindak kekerasan, masyarakat yang sudah memahami bisa melaporkan kepada penegak hukum. Meski begitu, tegasnya, dalam proses sosialisasi kepada penyandang disabilitas harus dilakukan sesuai aksebilitas dan kebutuhan dari setiap penyandang disabiltas.
Di akhir diskusi, wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat dalam konteks penerapan UU TPKS sasaran sosialisasi bukan pada tingkat warga, tetapi pada para penegak hukum terutama jajaran kepolisian di tingkat polsek. Selain itu, perlu dipertimbangkan dengan serius agar polisi perempuan yang menangani laporan kasus kekerasan seksual. (*)