Alasan Sistem Proporsional Tertutup Tak Digunakan Lagi Sejak Pemilu 2009

Rabu, 11 Januari 2023 17:05 WIB

Pekerja mengatur surat suara Pemilu 2009 di percetakan Sinar Agape Press, Jakarta, (10/2). Sebanyak 23 juta kertas suara untuk daerah pemilihan Jawa Barat zona A akan dicetak dan didistribusikan oleh perusahaan tersebut. TEMPO/Zulkarnain)

TEMPO.CO, Jakarta - Kontestasi wacana tentang sistem pemilihan yang akan digunakan pada Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 semakin kencang. Setidaknya delapan partai menyatakan menolak pemberlakuan sistem proporsional tertutup. Sementera itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tercatat sebagai satu-satunya partai politik yang mendukung pemberlakuan sistem tersebut.

Sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilihan yang digunakan di Indonesia sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008. Putusan tersebut menandai peralihan sistem pemilihan dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka. Lantas, mengapa MK mengambil keputusan tersebut?

Baca: Jika Sistem Proporsional Tertutup Terjadi di Pemilu 2024, Rocky gerung: Siasat Selundupkan Politisi Busuk

Dikutip dari Putusan tersebut, MK menyatakan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kedudukan hukum mengikat.

Pasal tersebut mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Apabila jumlah calon lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai, maka kursi diberikan kepada calon dengan nomor urut lebih kecil.

Advertising
Advertising

Keberadaan pasal tersebut telah menghilangkan makna pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama bagi setiap warga negara di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Selain itu, keberadaan pasal tersebut dinilai menunjukkan upaya pembuat undang-undang memberikan kewenangan penuh kepada partai politik dalam mengatur calegnya agar terpilih dengan menempatkannya pada nomor urut terkecil, padahal caleg tersebut belum tentu diterima/dikehendaki oleh rakyat.

MK kemudian menyatakan pasal tersebut tidak berlaku karena dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut dinilai mengandung standar ganda yang menjadikan hukum diberlakukan secara berbeda untuk keadaan yang sama. Hal itu berpotensi menciptakan ketidakadilan

HAN REVANDA PUTRA

Baca juga: Makin Panas Penolakan Sistem Proporsional Tertutup, Apa Bedanya dengan Sistem Terbuka?

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Berita terkait

Respons Politikus PDIP soal Keinginan Prabowo Bentuk Presidential Club

8 jam lalu

Respons Politikus PDIP soal Keinginan Prabowo Bentuk Presidential Club

Politikus Senior PDIP, Andreas Hugo Pareira, merespons soal keinginan Prabowo Subianto yang membentuk presidential club atau klub kepresidenan.

Baca Selengkapnya

Sekjen Gerindra Tepis Anggapan Jokowi Jadi Penghalang Pertemuan Prabowo dan Megawati

9 jam lalu

Sekjen Gerindra Tepis Anggapan Jokowi Jadi Penghalang Pertemuan Prabowo dan Megawati

Justru, kata Muzani, Presiden Jokowi lah yang mendorong terselenggaranya pertemuan antara Prabowo dan Megawati.

Baca Selengkapnya

Pengamat: Proses Sidang Sengketa Pilpres di MK Membantu Redam Suhu Pemilu

10 jam lalu

Pengamat: Proses Sidang Sengketa Pilpres di MK Membantu Redam Suhu Pemilu

Ahli politik dan pemerintahan dari UGM, Abdul Gaffar Karim mengungkapkan sidang sengketa pilpres di MK membantu meredam suhu pemilu.

Baca Selengkapnya

Pakar Ulas Sengketa Pilpres: MK Seharusnya Tidak Berhukum secara Kaku

13 jam lalu

Pakar Ulas Sengketa Pilpres: MK Seharusnya Tidak Berhukum secara Kaku

Ahli Konstitusi UII Yogyakarta, Ni'matul Huda, menilai putusan MK mengenai sengketa pilpres dihasilkan dari pendekatan formal legalistik yang kaku.

Baca Selengkapnya

Ulas Putusan MK Soal Sengketa Pilpres, Pakar Khawatir Hukum Ketinggalan dari Perkembangan Masyarakat

14 jam lalu

Ulas Putusan MK Soal Sengketa Pilpres, Pakar Khawatir Hukum Ketinggalan dari Perkembangan Masyarakat

Ni'matul Huda, menilai pernyataan hakim MK Arsul Sani soal dalil politisasi bansos tak dapat dibuktikan tak bisa diterima.

Baca Selengkapnya

DPR Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu 2024 pada 15 Mei, KPU Siapkan Ini

15 jam lalu

DPR Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu 2024 pada 15 Mei, KPU Siapkan Ini

Komisi II DPR juga akan mengonfirmasi isu yang menerpa Ketua KPU Hasyim Asy'ari.

Baca Selengkapnya

Relawan Jokowi Imbau PDIP Tak Cari Kambing Hitam Setelah Ganjar-Mahfud Kalah Pilpres

16 jam lalu

Relawan Jokowi Imbau PDIP Tak Cari Kambing Hitam Setelah Ganjar-Mahfud Kalah Pilpres

Panel Barus, mengatakan setelah Ganjar-Mahfud meraih suara paling rendah, PDIP cenderung menyalahkan Jokowi atas hal tersebut.

Baca Selengkapnya

Menakar Peluang Emil Dardak sebagai Wakil Khofifah Lagi setelah PDIP Merapat

19 jam lalu

Menakar Peluang Emil Dardak sebagai Wakil Khofifah Lagi setelah PDIP Merapat

Sebelum PDIP masuk, Khofifah telah lebih dahulu didukung Partai Golkar, Gerindra, Demokrat dan PAN sejak sebelum Pemilu 2024 berlangsung.

Baca Selengkapnya

Ketahui 3 Aturan Baru Tentang Kepala Desa Dalam UU Desa

20 jam lalu

Ketahui 3 Aturan Baru Tentang Kepala Desa Dalam UU Desa

Pemerintah akhirnya mengesahkan UU Desa terbaru yang telah diteken Jokowi dan diwacanakan perubahannya sejak Mei 2022. Apa saja aturan barunya?

Baca Selengkapnya

Permintaan Tambah Masa Jabatan Kepala Desa Dikabulkan, Kok Bisa?

20 jam lalu

Permintaan Tambah Masa Jabatan Kepala Desa Dikabulkan, Kok Bisa?

Permintaan para kepala desa agar masa jabatannya ditambah akhirnya dikabulkan pemerintah. Samakah hasilnya dengan UU Desa?

Baca Selengkapnya