Save Our Soccer Sebut Ada Pelanggaran Prosedur dalam Tragedi Kanjuruhan
Reporter
Hamdan Cholifudin Ismail
Editor
Juli Hantoro
Senin, 3 Oktober 2022 11:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Save Our Soccer Akmal Marhali mengungkapkan, pada tragedi Kanjuruhan terdapat pelanggaran-pelanggaran prosedural yang dilakukan oleh pihak penyelenggara.
"Kasus ini terjadi karena adanya pelanggaran-pelanggaran, baik itu pelanggaran prosedural, maupun pelanggaran SOP dan, pelanggaran regulasi serta pelanggaran safety and security stadium regulation milik FIFA," kata Akmal lewat pesan suara Senin 3 Oktober 2022.
Pada pertandingan antara Arema FC versus Persebaya ini, disampaikan Akmal, sebenarnya polisi telah menyampaikan bahwa hanya boleh mencetak 25 ribu tiket tapi kemudian panpel Arema mencetak sampe 45 ribu tiket. Hal ini pun membuat Stadion Kanjuruhan menjadi kelebihan kapasitas.
"Sehingga kemudian jumlah penonton tidak sebanding dengan kapasitas stadion kemudian ada yang berjubel berdesak desakan dan ini pelanggaran prosedural yang sangat fatal," ujarnya.
Akmal menambahkan bahwa pertandingan yang digelar pada malam hari cukup membahayakan. Sudah beberapa kali Save Our Soccer menyampaikan bahwa PSSI dan PT LIB harus merevisi ulang jadwal pertandingan sepak bola yang larut malam.
"Karena ini sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,' ujar dia.
Hal ini terbukti misalnya sebelum kasus ini terjadi ada 6 suporter yang meninggal, termasuk salah satunya dari Arema, dan juga dari Bonek karena ada supporter dari Surabaya kelelahan, kemudiaan kecelakaan lalu lintas, setelah pulang larut malam dari menonton pertandingan sepak bola tim kesayangannya.
Sedangkan soal penggunaan gas air mata di dalam Stadion Kanjuruhan menurut Akmal tidak sesuai dengan prosedur dan melanggar FIFA Safety and Security Stadium Pasal 9 poin b. Dalam pasal itu tercantum senjata api dan gas air mata tidak boleh masuk di sepak bola.
Menurut Akmal, pelanggaran prosedur itu juga karena kelalaian PSSI ketika melakukan kerja sama dengan pihak kepolisian. PSSi diduga tidak menyampaikan prosedur ini, bahwa pengamanan sepak bola itu berbeda dengan pengamanan demo.
"Tidak boleh ada senjata dan gas air mata yang masuk ke dalam stadion," ujarnya.
Atas kejadian ini, kata Akmal, PSSI semestinya menghentikan Liga sampai tim pencari fakta menemukan bukti terbaru. Tim khusus mengidentifikasi kasus ini memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pihak-pihak yang lalai pada penanganan ini.
Akmal menyampaikan bahwa ada pasal-pasal pelanggaran yang membuat panitia bisa dikenakan hukum pidana. Dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional Nomor 11 tahun 2022, diatur bahwa di Pasal 51, supporter berhak mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan.
"Di Pasal 103 bahkan disebutkan apabila penyelenggara tidak mampu mengamankan pertandingan maka bisa dikenakan hukum pidana, berupa hukuman penjara maksimal 5 tahun atau denda maksmial Rp 1 miliar," ujar Akmal.
Menurut Akmal, PSSI harus segera membuat regulasi untuk menjamin keamanan supporter. Ketika hal ini sudah dilakukan, kompetisi bisa digelar kembali.
Dia pun meminta dibentuk tim pencari fakta dengan melibatkan kepolisian, PSSI, termasuk di dalamnya ada Komnas HAM dan lembaga swadaya masyarakat agar kasus ini diusut tuntas.
"Sehingga kemudian sepak bola kita yang berkabung bisa kembali bangkit dan juga lebih baik," kata Akmal.
Baca juga: Kisah Penyintas Tragedi Kanjuruhan: Kenapa Kami Ditembak Gas Air Mata?