Bamsoet Akui PPHN Buat Jamin Keberlangsungan IKN
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Juli Hantoro
Senin, 15 Agustus 2022 17:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengakui bahwa pembentukan Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN salah satunya untuk menjamin keberlangsungan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).
"Kalau dikatakan apakah ini terkait dengan IKN, iya salah satunya, serta proyek strategis nasional lainnya. Kan kita sudah sepakat ibu kota dipindahkan ke Nusantara, sehingga kita sebagai bangsa harus bisa mewujudkan hal tersebut. Tidak boleh ada proyek-proyek mangkrak ke depan," ujar Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan pada Senin, 15 Agustus 2022.
Pembangunan IKN berlandaskan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022. Aturan tersebut, menurut Bamsoet, rawan digagalkan melalui judicial review. Selain itu, pengganti Jokowi nantinya bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang untuk menghentikan pembangunan IKN.
Sementara dalam road map yang telah dibuat, pembangunan IKN setidaknya membutuhkan waktu 15-20 tahun. Artinya, pembangunan ini setidaknya bakal diteruskan hingga empat periode kepresidenan.
Untuk menjamin keberlanjutan proyek IKN, kata Bamsoet, maka pihaknya bakal memasukkan IKN ke dalam PPHN agar tetap bisa berlanjut. "Dengan PPHN ini dikunci agar suatu ketentuan tidak bisa ditorpedo oleh Perpu, siapa pun nanti pemimpin yang akan datang," tuturnya.
Kepastian hukum, ujar Bamsoet, juga dibutuhkan oleh para investor-investor yang akan menanamkan duitnya di IKN.
Perkembangan PPHN Disampaikan di Sidang Tahunan
Perkembangan soal PPHN akan disampaikan dalam sidang tahunan MPR 16 Agustus mendatang. Pembahasan terakhir, ujar Bamsoet, rapat gabungan MPR bersama fraksi dan kelompok DPD telah menyetujui pembentukan panitia ad hoc PPHN.
<!--more-->
"Pengambilan keputusannya diperkirakan awal September. Panitia ad hoc ini akan bertugas menyusun substansi PPHN sekaligus mencari bentuk dasar hukum PPHN yang akan diputuskan nanti pada paripurna berikutnya," ujar Bamsoet.
Dua opsi payung hukum PPHN yang diusulkan Badan Pengkajian MPR yakni; melalui TAP MPR dan undang-undang. Namun, dua opsi itu pun masih dikaji.
"Pertama, PPHN dengan Tap MPR yang kedudukannya di bawah UUD 1945 namun di atas UU. Tapi itu harus melalui amandemen, sementara kita sepakat amandemen tidak bisa kita jalankan dengan situasi sudah dekat di tahun politik. Kemudian yang kedua adalah UU, tapi ada pemikiran kalau UU ini juga dikhawatirkan tidak mengikat prestasi-prestasi presiden untuk dilanjutkan oleh presiden berikutnya," ujar Bamsoet.
Di tengah dilema itu, kata Bamsoet, muncul opsi alternatif menghadirkan PPHN lewat konvensi ketatanegaraan. "Banyak yang bertanya, bagaimana jalannya? Nah itu tugas dari pada panitia ad hoc nanti yang mengundang para ahli untuk merumuskan. Dalam hal ini, bukan soal setuju tidak setuju atau soal menolak atau menerima yang kita butuhkan, tapi mari kita sebagai bangsa untuk bersama mencari jalan menghadirkan PPHN ini," ujar Bamsoet.
Namun fraksi-fraksi masih belum sepakat dengan payung hukum PPHN ini. Fraksi Golkar MPR, partai Bambang sendiri, salah satu yang menolak usul PPHN dihadirkan lewat konvensi ketatanegaraan. "Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tegas menolak," ujar Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Idris Laena lewat keterangan tertulis, Selasa, 26 Juli 2022.
Musababnya, lanjut Idris, konvensi tidak punya kekuatan hukum yang mengikat, baik terhadap lembaga negara yang lainnya, apalagi untuk mengikat seluruh Warga Negara Indonesia.
"Kalau konvensi yang dijadikan contoh adalah Pidato Presiden di Sidang Tahunan MPR RI 16 Agustus, yang setiap tahun dilaksanakan tanpa diatur konstitusi, tentu saja berbeda, karena pidato tahunan bukan produk hukum," ujar dia.
Lagipula, ujar Idris, payung hukum penyelengaraan Pidato Kenegaran Presiden 16 Agustus, juga hanya diatur dalam Pasal 100 Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR RI.
"Menjadikan Pasal 100 tata tertib MPR sebagai landasan produk hukum PPHN sudah pasti akan menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat, karena tata tertib masing-masing lembaga hanya mengikat ke dalam Dan bukan bagian dari hirarki perundang-undangan Indonesia. Fraksi Partai Golkar pasti akan menolak wacana menghadirkan PPHN dengan landasan hukum yang mengada-ada dan terkesan dipaksakan," ujar dia.
Fraksi Golkar mengusulkan payung hukum PPHN berlandaskan undang-undang. "Lebih baik UU, karena lebih mengikat sebagai produk hukum dan sekaligus dapat menggantikan UU RPJPM yang akan segera berakhir," tutur Idris.
MPR baru akan melakukan sidang paripurna pengambilan keputusan soal PPHN pada September mendatang. Dalam sidang itu, MPR akan mendengarkan pandangan setiap fraksi dan kelompok DPD, dengan ketentuan jika mayoritas anggota MPR sebagai pemegang hak konstitusi yang hadir dalam paripurna tersebut dapat menerima Rancangan PPHN, maka selanjutnya akan dibentuk Panitia Ad Hoc untuk menggodok payung hukum PPHN.
Baca juga: Ketua MPR Laporkan Perkembangan PPHN di Sidang Tahunan Besok
DEWI NURITA