Eks Napi Korupsi Brotoseno Tak Dipecat Polri, Begini Aturan Internal soal PTDH
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Amirullah
Selasa, 31 Mei 2022 13:59 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Asisten Kapolri Bidang SDM Inspektur Jenderal Wahyu Widada mengungkapkan AKBP Raden Brotoseno, eks narapidana korupsi, belum dipecat dari keanggotaannya sebagai polisi. Menurut Wahyu, sidang etik terhadap AKBP Raden Brotoseno telah dilaksanakan dan sidang etik memutuskan yang bersangkutan tidak dipecat.
"Yang saya tahu, dia sudah disidang (etik) tapi tidak ada pemecatan. Yang saya tahu itu dia tidak dipecat," kata Wahyu saat ditemui di Mabes Polri, Senin 30 Mei 2022.
Wahyu mengatakan pemecatan seorang anggota Polri yang terlibat tindak pidana berdasarkan sidang kode etik. Ada penilaian tertentu untuk melakukan pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH).
"Ya, itu tergantung sidang kode etiknya, tergantung sidang yang ada di sana, kalau sidang kode etiknya mengatakan dipecat ya dipecat, kalau mengatakan tidak dipecat ya tidak dipecat. Tidak otomatis dipecat," kata Wahyu.
Mengenai pelanggaran etik diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi. Pasal 13 huruf a menyatakan setiap anggota Polri dilarang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan/atau gratifikasi.
Terduga pelaku kemudian akan menjalani sidang etik yang dilakukan oleh Komisi Kode Etik Polri. Pasal 21 aturan yang sama menyatakan bila komisi menyatakan anggota itu bersalah maka anggota Polri itu bisa dijatuhi sanksi beragam. Mulai dari harus meminta maaf, dipindahtugaskan, hingga sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat atau PTDH.
Khusus untuk pemberhentian tidak dengan hormat diatur kembali dalam Pasal 22. Pasal itu menyebutkan sanksi administratife berupa rekemondasi PTDH dikenakan melalui sidang KKEP terhadap tiga jenis pelanggaran.
Pertama pelanggaran yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Lalu, pelanggar yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (3) huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i. Jenis pelanggaran itu di antaranya, lari dari tugas, melakukan bunuh diri, menjadi anggota partai politik, dan dijatuhi hukuman disiplin sebanyak tiga kali.
Sanksi administratif berupa pemberhentian juga bisa direkomendasikan oleh KKEP setelah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya. Yaitu apabila dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri; memberikan keterangan palsu, melakukan upaya mengubah Pancasila atau gerakan makar.
Adapun Brotoseno dihukum 5 tahun dan denda Rp 300 juta karena kasus korupsi cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat 2012-2014. Mantan penyidik KPK itu terbukti menerima suap sebesar Rp 1,9 miliar dari seorang perantara. Uang itu diberikan untuk menunda pemeriksaan terhadap mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam kasus cetak sawah dengan tersangka Upik Rosalinawasrin. Brotoseno bebas pada 2020 dan masih menjadi polisi aktif hingga sekarang.