Mardani H Maming Bantah Terima Aliran Dana Kasus Suap Tambang, Tapi...
Rabu, 25 Mei 2022 14:50 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming kembali membantah adanya aliran dana kasus suap tambang yang melibatkan mantan anak buahnya, Dwidjono Putro Hadi Sutopo, mantan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu. Pengacara Mardani, Irfan Idham, menyatakan kliennya tak terlibat dalam dua perusahaan yang disebut oleh Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara, Christian Soetio, dalam kesaksiannya di persidangan beberapa waktu lalu.
Irfan menyatakan bahwa pihaknya memiliki fakta baru berupa dokumen untuk membantah kesaksian Christian soal aliran dana ke politikus PDI Perjuangan tersebut.
“Saya memiliki dokumen lengkap untuk membantah seluruh keterangan saksi Christian Soetio terkait aliran dana yang ditujukan kepada klien kami Mardani H Maming. Kesaksian Christian tidak disertai dengan bukti dan fakta yang ada,” tegas Irfan Idham, melalui siara pers yang diterima Tempo Rabu, 25 Mei 2022.
Dalam sidang pada tanggal 13 Mei lalu, Christian yang menjadi saksi untuk Dwidjono menyebutkan bahwa Mardani menerima aliran dana sebesar Rp 89 miliar melalui dua perusahaan, PT Permata Abadi Raya (PAR) dan PT Trans Surya Perkasa (TSP). Kedua perusahaan itu disebut berada di bawah naungan PT Batulicin 69 milik keluarga Mardani. Aliran dana dari PT PCN ke kedua perusahaan itu, menurut Christian terjadi sejak 2014 hingga 2020.
“Total yang sesuai TSP dan PAR itu nilainya Rp 89 miliar yang mulia,” ujar Christian menjawab pertanyaan Anggota Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin, Ahmad Gawi.
“2014 yang mulia, sampai 2020. TSP dan PAR masuk Grupnya 69. Yang saya ketahui, yang saya dengar, punyanya Mardani,” ucap Christian Soetio.
Ifan membenarkan adanya transfer ke dari PT PCN ke PT PAR dan PT TSP. Akan tetapi, menurut dia, dana transfer tersebut berkaitan dengan hubungan bisnis diantara perusahaan tersebut. Dia juga menyatakan bahwa secara personal Mardani tak memegang kendali di kedua perusahaan itu karena menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu pada periode 2009-2018. Pemegang kendali kedua perusahaan itu adalah Rois Sunandar Maming yang merupakan adik dari Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Kalimantan Selatan tersebut.
“Kesaksian Christian itu fitnah yang keji. Karena faktanya, dana yang ditransfer ke rekening PT. PAR dan PT. TSP adalah dana tagihan kepada PT. PCN. Dimana saat itu PT. PAR ataupun PT. TSP memang dimiliki keluarga Mardani H Maming, tapi tidak ada kaitan dengan bapak Mardani,” kata Irfan.
"Malah PT.PCN lah yang mempunyai utang kepada PT. TSP dan PT. PAR sebesar Rp 106 miliar," ujar dia.
Saat ini, menurut Irfan, PT. PCN sedang dalam proses perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
<!--more-->
Irfan melanjutkan PT. PAR dan PT. TSP, yang saat ini milik Batulicin Enam Sembilan (B69) Group, beberapa tahun lalu menjalin kerja sama dengan PT. PCN dalam mengelola pelabuhan batu bara PT. Angsana Terminal Utama (ATU).
“Jadi ini adalah murni hubungan keperdataan antara perusahaan dengan perusahaan atau dengan kata lain ini adalah murni busines to business,” ujar Irfan.
Irfan pun menjelaskan kronologi hubungan bisnis antara PT. ATU, PT. PAR, PT. TSP dan PT. PCN. Menurut dia, hubungan bisnis itu bermula pada 21 Februari 2011 dengan pendirian PT. ATU, hampir berbarengan dengan proses pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari PT PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) kepada PT PCN yang kemudian menjadi masalah pokok dalam kasus suap tambang ini.
PT ATU, menurut Irfan, didirikan dengan pemegang saham Rois Sunandar Maming sebesar 80% dan M. Bahruddin 20%. Saat itu PT ATU sudah mempunyai izin pelabuhan sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. KP.940 Tahun 2011. Dan PT. ATU sendiri sepenuhnya milik group B69.
PT PCN baru masuk ke PT ATU sebagai investor pada 2012 dengan menawarkan kerjasama untuk membangun fasilitas crusher dan counveyor.
PT. ATU setuju, dan disepakati PT. PCN mendapatkan saham PT. ATU sebesar 70%, dan susunan kepemilikan saham PT. ATU berubah menjadi M. Bahrudin 30% sedangkan PT. PCN 70%, dengan susunan direksinya, ialah Hendry Soetio sebagai Direktur dan M. Bahruddin sebagai Komisaris.
Pada 28 Februari 2014, susunan kepemilikan perusahaan itu kembali berubah setelah terjadi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa. Sebanyak 30 persen saham yang sebelumnya diatasnamakan M Bahrudin menjadi milik PT. TSP dengan Direktur M. Aliansyah dan komisaris M. Bahruddin.
Enam bulan berselaing Hendry Soetio selaku Direktur PT. ATU disebut menawarkan perubahan pembagian hasil atau deviden 30% PT. TSP dipersamakan dengan Fee Rp 10.000/Mt batubara, dengan maksud untuk mempermudah hasil penghitungan. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam perjanjian antara PT. TSP dan PT. ATU.
Hendry kembali mengajukan permohonan perubahan susunan kepemilikan saham pada akhir 2015 hingga awal 2016. Saat itu dia meminta agar 100 persen saham PT ATU menjadi milik PT PCN karena dia ingin melakukan peminjaman bank.
Hendri Soetio merubah saham 30% milik PT. TSP menjadi Fee Rp10.000/Mt yang diserahkan kepada PT. Permata Abadi Raya (PT. PAR) yang merupakan bagian dari perusahaan B69.
“Dana inilah yang menjadi tagihan PT. PAR kepada PT. PCN yang disebut Christian dalam persidangan yang mengalir kepada klien kami Mardani H Maming,” ujar Irfan.
Irfan melanjutkan, pada tanggal 25 Agustus 2016, akhirnya terjadi perubahan nama pelabuhan milik PT. ATU menjadi pelabuhan PT. PCN yang tercantum dalam Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Laut. BX-285/PP 008.
Dalam pertimbangannya SK Dirjen Perhubungan Laut itu, di poin B disebutkan bahwa; terminal untuk kepentingan sendiri yang akan dikelola oleh PT. PCN sebelumnya adalah milik PT. ATU yang telah mendapatkan persetujuan pengelolaan berdasarkan Keputusan Menhub No. KP.940 tanggal 28 November 2011.
Saat ini, kata Irfa, PT. PCN mengalami kesulitan keuangan dan sedang dalam perkara PKPU di PN Jakarta Pusat dengan Perkara Nomor 412/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst, dimana dalam perkara tersebut Jhonlin Group adalah pihak investor yang ingin mengambil alih kepemilikan aset dan perusahaan PT. PCN.
Dwidjono Putro Hadi Sutopo terjerat kasus ini karena dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pengalihan IUP dari PT BKPL ke PT PCN. Pengalihan itu dianggap menyalahi Undang-Undang Minerba karena sejatinya IUP tak boleh dialihkan.
Dalam kesaksiannya, Dwidjono, sempat mengaku bahwa dirinya dikenalkan dengan Hendry Soetio oleh Mardani H Maming. Dia mengaku tak sempat tak memproses pengalihan tersebut karena mengetahui akan melanggar peraturan. Dwidjono mengaku terpaksa memproses pengalihan itu karena perintah Mardani selaku Bupati Tanah Bumbu. Dia bahkan sempat menyatakan terpksa menandatangani surat keputusan yang telah ditandatangani terlebih dahulu oleh Mardani.
Mardani H Maming merupakan Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan Kalimantan Selatan. Selain itu, dia juga tercatat sebagai Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Pada awal tahun ini, dia pun diangkat sebagai Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).