SETARA Institute Dorong Polri Moratorium Penggunaan Pasal Penodaan Agama

Reporter

Andita Rahma

Jumat, 27 Agustus 2021 19:06 WIB

Suasana sidang vonis kasus penodaan agama, yakni bawa anjing masuk masjid, di Pengadilan Negeri Cibinong, Kabupaten Bogor, Rabu 5 Februari 2020. Dok. Istimewa

TEMPO.CO, Jakarta - SETARA Institute mendorong Polri melakukan moratorium penggunaan pasal penodaan agama. Polisi menggunakan pasal ini untuk menjerat dua penceramah, Muhammad Kace dan Yahya Waloni.

Keduanya ditangkap dalam waktu yang berdekatan, yakni Muhammad Kace pada 24 Agustus 2021 dan Yahya Waloni pada 26 Agustus 2021.

"Pihak kepolisian, dalam pandangan SETARA Institute, mesti melakukan terobosan hukum untuk menjerat keduanya dengan pasal-pasal hasutan dan kebencian yang ada, baik dalam KUHP maupun di luar KUHP," ujar Wakil Ketua BP Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, melalui keterangan tertulis pada Jumat, 27 Agustus 2021.

Bonar menjelaskan dalam penelitian SETARA Institute pasal-pasal penodaan agama kerap digunakan untuk menghukum perorangan dan melindungi kelembagaan agama. Akibatnya, pasal-pasal tersebut tidak memberikan jaminan perlindungan atas hak perseorangan untuk menikmati pilihan merdeka berdasarkan hati nurani (conscience) untuk memeluk agama atau berkeyakinan. Bahkan yang sering terjadi, pasal-pasal penodaan agama digunakan untuk menghukum interpretasi perseorangan yang berbeda dari keyakinan keagamaan arus utama.

Padahal, kata Bonar, dalam prinsip dasar hukum internasional jelas bahwa yang harus dilindungi bukanlah agama, tetapi kebebasan perorangan yang menganut agama tertentu.

Advertising
Advertising

"Oleh karena itu, Indonesia dan aparat hukumnya sebagai bagian dari negara beradab dalam komunitas internasional mestinya menghentikan penggunaan pasal-pasal penodaan agama," ucap Bonar.

Selanjutnya, masih dalam penelitian SETARA Institute mengenai rezim penodaan agama, penegakan hukum menggunakan pasal-pasal penodaan agama seringkali mengekalkan pendekatan mayoritas dan minoritas di negeri ini. Penegakan hukum pidana sering dilakukan dengan tebang pilih terhadap pelaku dan kasus tertentu. Beberapa kasus yang mana pelaku dari kelompok agama mayoritas merendahkan penganut agama minoritas tidak pernah diproses hukum.

Sehingga, SETARA Institute memandang bahwa kasus Muhammad Kace dan Yahya Waloni adalah momentum untuk melembagakan penggunaan pasal-pasal hasutan dan kebencian berdasarkan agama. Polri sebenarnya sudah memiliki dasar hukum yang kuat untuk menggunakan pasal-pasal hasutan dan kebencian berdasarkan agama, sebagai pengganti pasal-pasal penodaan agama yang sumir dan tidak memberikan kepastian hukum.

"Polri mesti menjadikan Surat Edaran Kapolri No 6 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) sebagai prosedur operasional standar dalam penanganan kasus-kasus kebencian. Selain itu, KUHP yang ada saat ini sebenarnya sudah mengenal pasal hasutan, seperti pada pasal 160 KUHP. Juga pasal mengadu dengan memfitnah, sebagaimana Pasal 310 KUHP," kata Bonar.

<!--more-->

Maka dari itu, SETARA Institute juga mendesak pemerintah dan DPR yang sedang dalam proses melakukan revisi atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menghapus pasal-pasal penodaan agama dalam RKUHP. Sebagai gantinya, negara mesti merumuskan pidana hasutan (incitement) dan pidana kebencian (hate crime) berdasarkan sentimen keagamaan. Selebihnya, kita tidak kekurangan pakar dan akademisi hukum pidana untuk merumuskan element of crime dalam pidana hasutan dan kebencian atas dasar agama dan keagamaan.

Di samping itu, beberapa norma dan dokumen internasional bisa dijadikan dasar seperti Pasal 20 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang sudah kita ratifikasi menjadi UU No 12 Tahun 2005. Selain itu, negara dapat merujuk pada dokumen Rabat Plan of Action yang disusun oleh Komisi Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa.

Terakhir, SETARA Institute juga mendorong organisasi-organisasi keagamaan yang untuk mengoptimalkan agenda-agenda membangun imunitas dan resiliensi umat beragama dari paparan hasutan dan provokasi untuk membangun kebencian dan melakukan intoleransi, diskriminasi, dan persekusi atas kelompok keagamaan yang berbeda. Semakin pesatnya perkembangan dunia digital dan pemanfaatannya saat ini di masa pandemi turut memberikan ruang besar bagi hasutan dan provokasi kebencian berdasarkan agama.

Dalam konteks demikian, lanjut SETARA Institute, potensi hasutan dan provokasi kebencian tidak hanya bersumber dari saluran-saluran dan figur-figur dalam negeri, namun juga datang dari luar negeri. Oleh karena itu, kontribusi dan terobosan organisasi-organisasi keagamaan sangat diperlukan untuk mengembangkan keberagamaan yang rasional, toleran, dan damai dalam tata kebinekaan Indonesia.

Baca juga: Jadi Tersangka Penodaan Agama, Muhammad Kece Diancam 6 Tahun Penjara

ANDITA RAHMA

Berita terkait

Arti Bebas Bersyarat yang Diberikan kepada Gaga Muhammad, Bagaimana Regulasinya?

16 jam lalu

Arti Bebas Bersyarat yang Diberikan kepada Gaga Muhammad, Bagaimana Regulasinya?

Gaga Muhammad sudah bebas bersyarat dari kasus kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan Laura Anna. Bagaimana aturan hukumnya?

Baca Selengkapnya

SETARA Institute: Pengeroyokan Mahasiswa Katolik di Pamulang Wujud Lemahnya Ekosistem Toleransi

19 jam lalu

SETARA Institute: Pengeroyokan Mahasiswa Katolik di Pamulang Wujud Lemahnya Ekosistem Toleransi

Warga Kampung Poncol, Setu, Tangerang Selatan (Tangsel) membubarkan mahasiswa Universitas Pamulang yang sedang beribadah doa rosario

Baca Selengkapnya

Dapat Ancaman atau Teror? Ini yang Harus Dilakukan dan Sanksi Hukum Bagi Pelakunya

5 hari lalu

Dapat Ancaman atau Teror? Ini yang Harus Dilakukan dan Sanksi Hukum Bagi Pelakunya

Pernah terima ancaman atau teror? Tindakan ini yang harus dilakukan. Ketahui sanksi hukum bagi pelaku ancaman tersebut.

Baca Selengkapnya

3,2 Juta Pemain Judi Online di Indonesia, Kenali Modus, Kategori, dan Sanksi Hukumnya

13 hari lalu

3,2 Juta Pemain Judi Online di Indonesia, Kenali Modus, Kategori, dan Sanksi Hukumnya

Data PPATK menunjukkan sekitar 3,2 juta warga Indonesia yang bermain judi online. Berikut modus, kategori, dan jerat pasal hukum di KUHP dan UU ITE.

Baca Selengkapnya

Ini Isi Konten TikToker Galih Loss yang Diduga Lakukan Penistaan Agama

13 hari lalu

Ini Isi Konten TikToker Galih Loss yang Diduga Lakukan Penistaan Agama

TikToker Galih Loss ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.

Baca Selengkapnya

Gilbert Lumoindong Dilaporkan ke Polisi, SETARA Institute: Pasal Penodaan Agama Jadi Alat Gebuk

14 hari lalu

Gilbert Lumoindong Dilaporkan ke Polisi, SETARA Institute: Pasal Penodaan Agama Jadi Alat Gebuk

Pendeta Gilbert Lumoindong dilaporkan ke polisi atas ceramahnya yang dianggap menghina sejumlah ibadah umat Islam.

Baca Selengkapnya

Galih Loss jadi Tersangka Penodaan Agama yang Diunggah di TikTok, Polisi Sebut untuk Cari Endorse

14 hari lalu

Galih Loss jadi Tersangka Penodaan Agama yang Diunggah di TikTok, Polisi Sebut untuk Cari Endorse

Dalam proses pemeriksaan, Galih Loss disebut membuat konten ujaran kebencian hingga penodaan agama di akun TikTok untuk mencari endorse.

Baca Selengkapnya

Usai jadi Tersangka Dugaan Penodaan Agama, Galih Loss Ditahan di Rutan Polda Metro Jaya

14 hari lalu

Usai jadi Tersangka Dugaan Penodaan Agama, Galih Loss Ditahan di Rutan Polda Metro Jaya

Ditreskrimsus Polda Metro Jaya resmi menetapkan Galih Noval Aji Prakoso alias Galih Loss sebagai tersangka dugaan penyebaran kebencian di TikTok.

Baca Selengkapnya

Polda Metro Jaya Tetapkan Tiktokers Galih Loss jadi Tersangka Dugaan Penodaan Agama

14 hari lalu

Polda Metro Jaya Tetapkan Tiktokers Galih Loss jadi Tersangka Dugaan Penodaan Agama

Polda Metro Jaya menetapkan Galih Loss sebagai tersangka penyebaran kebencian dan penodaan agama lewat Tiktoknya @galihloss3.

Baca Selengkapnya

SETARA Institute Minta Polda Metro Jaya Terapkan Restorative Justice atas Laporan Penistaan Agama oleh Gilbert Lumoindong:

14 hari lalu

SETARA Institute Minta Polda Metro Jaya Terapkan Restorative Justice atas Laporan Penistaan Agama oleh Gilbert Lumoindong:

Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan menyebut seharusnya polisi mengabaikan dan tidak menindaklanjuti laporan terhadap Gilbert Lumoindong

Baca Selengkapnya