5 Aturan Jadi Sorotan di Aturan Turunan UU Cipta Kerja: Ada Soal PHK dan Upah
Reporter
Caesar Akbar
Editor
Aditya Budiman
Selasa, 23 Februari 2021 06:44 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah mengeluarkan aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) berupa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Sebanyak 45 PP dan 4 Perpres diunggah di JDIH Kementerian Sekretariat Negara, Ahad, 21 Februari 2021.
"Presiden telah menetapkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang terdiri atas 45 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden yang diharapkan dapat segera berdampak pada upaya pemulihan perekonomian nasional sekaligus menjadi momentum kebangkitan Bangsa Indonesia," ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Sekretariat Negara, Eddy Cahyono Sugiarto, dalam keterangan tertulis, Ahad, 21 Februari 2021.
Tempo mencatat sedikitnya ada lima pasal yang menjadi sorotan dalam aturan turunan beleid sapu jagad ini. Berikut ini daftarnya.
1. Perusahaan Bisa PHK Buruh Tanpa Pesangon Penuh
Salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja yang diteken Jokowi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja, Hubungan Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). PP ini salah satunya mengatur ketentuan yang memungkinkan perusahaan tidak membayar penuh uang pesangon kepada pegawai yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam kondisi tertentu.
Pasal 36 PP 35/2021 ini mengatur bahwa PHK dapat terjadi karena sejumlah alasan. Apabila PHK dilakukan pengusaha wajib membayar uang pesangon atau penghargaan masa kerja. "Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima," demikian bunyi Pasal 40 ayat (1) PP 35/2021.
Namun, pada pasal 43 diatur bahwa dalam hal PHK terjadi karena alasan efisiensi akibat mengalami kerugian, perusahaan dapat membayar pesangon separuh dari ketentuan.
"Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian maka Pekerja/Buruh berhak atas: a. Uang Pesangon sebesar 0,5 kali ketentuan Pasal 40 ayat (2); b. Uang Penghargaan Masa Kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 40 ayat (3); dan c. Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4)," termaktub dalam beleid tersebut.
Dalam aturan turunan UU Cipta Kerja itu juga mengatur hal yang serupa berlaku apabila PHK terjadi karena perusahaan tutup akibat mengalami kerugian secara terus-menerus selama dua tahun; perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure); perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang; atau perusahaan pailit. Sisanya, pesangon dibayar penuh.
Baca juga: Jokowi Teken PP Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan Bagi Buruh yang Kena PHK
<!--more-->
2. Jangka waktu PKWT kini paling lama 5 tahun
Di samping soal pesangon, PP Nomor 35 Tahun 2021 juga mengatur soal PKWT. Dalam PP tersebut disebutkan, PKWT didasarkan atas; jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pasal 8 PP 35/2021 mengatur batas waktu maksimal kontrak PKWT selama 5 tahun. "PKWT berdasarkan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat dibuat untuk paling lama 5 (lima) tahun," demikian bunyi Pasal 8 ayat (1) PP 35/2021.
Selanjutnya ayat (2) mengatur, jika kontrak akan berakhir dan pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai, pemberi kerja dapat melakukan perpanjangan PKWT dengan jangka waktu sesuai kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja. Namun jangka waktu keseluruhan beserta perpanjangannya tidak lebih dari 5 tahun.
Pasal 12 mengatur, PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja, masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan masa kerja tetap dihitung.
Sebelumnya, berdasarkan Pasal 59 ayat 4 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
3. Ada aturan gaji per jam
Jokowi juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, 2 Februari 2021. PP yang menjadi salah satu aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) tersebut sekaligus mencabut aturan sebelumnya, yakni PP nomor 78 tahun 2015.
Salah satu poin baru yang diatur dalam PP ini adalah terkait upah berdasarkan satuan waktu. Berbeda dengan aturan sebelumnya, dalam Pasal 15 PP ini, terdapat kategori baru upah berdasarkan satuan waktu, yakni upah per jam. Hal ini melengkapi upah sebelumnya, yakni upah harian dan upah bulanan.
Pada Pasal 16, dijelaskan bahwa penetapan upah per jam hanya dapat diperuntukkan bagi pekerja/buruh yang bekerja secara paruh waktu. "Upah per jam dibayarkan berdasarkan kesepakatan antara pengusan dan pekerja/buruh," tulus ayat (2) Pasal 16 PP tersebut.
Disebutkan juga bahwa upah tersebut tak boleh lebih rendah dari hasil perhitungan formula upah per jam. Adapun formula perhitungan upah per jam yang digunakan adalah Upah Per Jam = Upah Sebulan : 126.
Disebutkan juga bahwa angka penyebut dalam perhitungan upah per jam dapat dilakukan peninjauan apabila terjadi perubahan media jam kerja pekerja/buruh paruh waktu secara signifikan.
<!--more-->
4. Waktu lembur diubah dari 3 jam menjadi 4 jam sehari
Aturan turunan UU Cipta Kerja tercatat menambah waktu lembur pekerja. Hal tersebut termaktub dalam PP Nomor 35 Tahun 2021.
Pada UU Ketenagakerjaan sebelumnya, waktu lembur maksimal tiga jam dalam sehari dan maksimal 14 jam selama satu minggu. Dalam PP 35/2021 ditetapkan waktu lembur maksimal empat jam dalam sehari dan maksimal 18 jam dalam seminggu.
"Waktu Kerja Lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu," demikian bunyi Pasal 26 ayat (1) PP 35/2021 yang diteken Presiden Joko Widodo pada 2 Februari lalu.
Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi.
5. Pendirian Perseroan Terbatas tak perlu akta notaris
Pendirian perseroan terbatas (PT) kini bisa dilakukan tanpa akta notaris. Kemudahan ini berlaku untuk badan hukum baru yang dibentuk pemerintah lewat UU Cipta Kerja, yaitu perseroan perorangan dengan tanggung jawab terbatas (sole proprietorship with limited liability).
"Dengan adanya perseroan perorangan, maka pelaku usaha dapat membentuk perseroan terbatas yang pendirinya cukup satu orang," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, 22 Februari 2021.
Selama ini, pendirian PT wajib dilakukan dengan akta notaris, dan minimal pengurus 2 orang. Satu direktur dan atau komisaris. Tapi dalam perseroan perseorangan ini, cukup satu saja tanpa perlu komisaris.
Ketentuan soal PT tanpa akta notaris ini tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria Untuk Usaha Mikro dan Kecil.
Dengan demikian, PT bisa didirikan cukup dengan mengisi form pernyataan pendirian secara elektronik saja. "Tidak memerlukan akta notaris," kata Yasonna soal pendirian perseroan dalam aturan turunan UU Cipta Kerja.
CAESAR AKBAR | DEWI NURITA | EGI ADYATAMA | FAJAR PEBRIANTO