Milad GAM, Simak Sejarah Gerakan Ini
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Syailendra Persada
Jumat, 4 Desember 2020 13:08 WIB
Pembicaraan terkait perdamaian sebenarnya sudah dilakukan antara GAM dan pemerintah sejak 1990-an, namun tak pernah mencapai kesepakatan damai yang ideal. Bencana tsunami raksasa yang menyapu Aceh pada 26 Desember 2004 menjadi faktor penting yang membuat GAM kian lemah usai pemerintah Indonesia mematahkan gelombang perlawanan ketiga mereka.
Pada 27 Februari 2005, perwakilan GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari berperan sebagai fasilitator.
Setelah melewati perundingan yang rumit selama setengah tahun, dan terakhir pada perundingan putaran kelima, GAM akhirnya setuju tetap berada di dalam Republik Indonesia. Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Helsinki, Finlandia pada 17 Juli 2005. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005.
Salah satu syaratnya, warga Aceh dibolehkan mendirikan partai lokal dan pemberian amnesti bagi anggota GAM. Seluruh senjata yang berjumlah 840 pucuk dipindah kepemilikannya dari GAM kepada AMM, dan prosesnya selesai pada 19 Desember 2005. Tanggal 27 Desember di tahun yang sama, GAM melalui juru bicara militer Sofyan Dawood menyatakan bahwa sayap militer mereka telah dibubarkan secara formal.
Semua sikap GAM itu di bawah kendali Malik Mahmud al-Haytar, 67 tahun. Hasan di Tiro, pucuk pemimpin GAM yang ketika itu sudah tua dan dikabarkan sakit-sakitan, bermukim di Swedia dan menunjuk Malik menjadi perdana menteri. Praktis, sehari-hari Malik menjadi orang ”nomor satu”. Malik adalah Menteri Negara GAM sejak kelompok pemberontakan itu berdiri pada 1976. Di bawah kendalinya, sejarah politik gerakan itu berubah: memilih damai dan bertarung lewat jalan demokratis. ”Rakyat Aceh sudah terlalu menderita akibat konflik dan juga bencana tsunami,” ujar Malik dalam wawancaranya dengan Tempo, kala itu.
Pada Oktober 2008, Hasan Tiro pulang ke Aceh. Ia menetap di tanah kelahirannya hingga meninggal dunia tanggal 3 Juni 2010. Sampai saat ini, hasil paling nyata dari kesepakatan damai Helsinki adalah pembentukan partai-partai politik lokal Aceh. Beberapa elit GAM dan eks kombatan mendirikan partai dan mereka terjun langsung ke dunia politik praktis.