8 Catatan DPR soal Rancangan Perpres Pelibatan TNI Tangani Terorisme
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Aditya Budiman
Senin, 30 November 2020 12:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan sejumlah catatan terkait Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Catatan ini disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR dalam surat tertanggal 18 November 2020.
Selain Komisi I, Komisi III memang diminta pendapat lantaran beleid ini akan bersinggungan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Penanganan terorisme selama ini merupakan ranah Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang merupakan mitra Komisi III DPR.
Tempo mendapatkan salinan pandangan Komisi III yang menyoroti sejumlah pasal dalam rancangan Perpres tersebut. Ketua Komisi III Herman Herry dan Wakil Ketua Komisi III Desmond J. Mahesa membenarkan dokumen tersebut.
"Ya," kata Desmond, yang meneken surat berisi pandangan ini, saat dihubungi lewat pesan singkat, Senin, 30 November 2020.
Dalam pandangannya, Komisi III menyampaikan bahwa pelibatan TNI diperlukan dalam upaya memberantas kejahatan terorisme, tetapi pelaksanaannya membutuhkan payung hukum yang jelas dan komprehensif sesuai maksud dan tujuan Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Komisi III meminta pemerintah hati-hati dalam menetapkan Perpres pelibatan TNI ini. Komisi III menyebutkan Perpres ini akan mengatur ketentuan tentang mekanisme penggunaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap tugas TNI dalam lingkup UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Mengingatkan kembali bahwa pada prinsipnya sebuah peraturan presiden sebagai delegasi undang-undang tidak mengatur norma baru, sehingga diperlukan kehati-hatian," kata Desmond dikutip dari surat tersebut.
Komisi III pun mengingatkan sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pelibatan TNI atau pengerahan kekuatan militer dilakukan oleh Presiden dan harus mendapat persetujuan DPR RI, yakni merupakan kebijakan dan politik negara. Adapun secara rinci, berikut 8 catatan Komisi III beserta catatannya.
1. Pasal 1 ayat (1) terkait definisi
-Definisi 'aksi terorisme' dinilai belum menunjukkan perbedaan aksi terorisme dengan tindak pidana terorisme atau terorisme sehingga belum mampu menjelaskan keadaan dan situasi peran TNI. sebagaimana diatur dalam Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun 2018
-'Aksi terorisme' seharusnya dipahami sebagai tindakan nyata yang menimbulkan suasana teror yang meluas dan melampaui kemampuan Kepolisian.
-Frasa 'atau dengan eskalasi tinggi' diusulkan diubah menjadi 'bereskalasi tinggi'.
2. Pasal 2 ayat (2) terkait tugas TNI dalam aksi terorisme
-Peran TNI dalam mengatasi aksi terorisme pada prinsipnya hanya melakukan penindakan sebagaimana Pasal 2 ayat (2) huruf b rancangan perpres dan berkoordinasi dengan BNPT. Adapun tugas lainnya meliputi penangkalan dan pemulihan adalah kegiatan yang menjadi kewenangan BNPT sesuai UU Nomor 5 Tahun 2018.
-Hal yang menjadi kekhawatiran karena kegiatan penangkalan memiliki ruang lingkup luas, sehingga dapat diartikan sebagai kegiatan pencegahan yang tentu berbeda pendekatan dengan pola militer atau penindakan.
-Perlu adanya pengaturan lebih rinci dengan batasan-batasan yang jelas bahwa telah timbul ancaman yang nyata dan membutuhkan pola pendekatan militer, yakni sudah di luar kemampuan dari Kepolisian, agar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
<!--more-->
3. Pasal 3
-Dalam Raperpres, kegiatan penangkalan berpotensi bergesekan atau bersinggungan dengan kewenangan yang dimiliki pihak lain, yakni aparat penegak hukum dan intelijen. Hal ini berpotensi menimbulkan dualisme kewenangan dan pertentangan hukum.
-Kegiatan operasi intelijen memerlukan batasan-batasan yang lebih jelas karena penyelidikan bukan tugas pokok Tentara Nasional Indonesia.
-Harus dijelaskan bagaimana cara mendapatkan informasi dalam kegiatan operasi informasi. Misalnya apakah dengan melakukan intersep, menginterogasi orang yang dicurigai, atau menangkap dan menginterogasi. Hal ini harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip HAM dan peraturan perundang-undangan.
-Frasa 'kegiatan dan/atau operasi lainnya' dalam lingkup UU Terorisme ini juga dapat menimbulkan multitafsir dan perlu mendapat pengaturan lebih tegas mengenai bentuk dan batasannya.
4. Pasal 5
Pengaturan kegiatan dan/atau operasi penangkalan yang dimaksud tidak sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI; yang seharusnya mendapat perintah dari Presiden dan mendapat persetujuan dari DPR.
5. Pasal 6
Operasi khusus dalam hal ini merupakan operasi yang bersifat sementara (temporer), bukan merupakan operasi permanen; sehingga pengaturannya harus mendapat penegasan bahwa operasi tersebut hanya bersifat sementara dan tidak membutuhkan peningkatan menjadi kegiatan rutin dan sejenisnya atau adanya batasan waktu.
6. Pasal 7 tentang kewenangan pencegahan
-Sesuai UU Nomor 34 Tahun 2004, TNI tidak berwenang melakukan pencegahan terorisme.
-Pencegahan tindak pidana terorisme merupakan kewenangan BNPT.
7. Pasal 8 sampai Pasal 11 tentang kewenangan penindakan
-Perlu penegasan kembali bahwa tindakan 'penindakan' terhadap aksi terorisme merupakan perintah presiden dan mendapat persetujuan DPR.
-Pengerahan kekuatan TNI harus berdasarkan keputusan politik (Pasal 3, Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 17 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI).
8. Pasal 14
Anggaran untuk mengatasi aksi terorisme yang dilakukan oleh TNI sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, hanya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
BUDIARTI UTAMI PUTRI