5 Kritik Epidemiolog, Pandu Riono, Terhadap Pemerintah dalam Tangani Covid-19
Reporter
M Yusuf Manurung
Editor
Syailendra Persada
Kamis, 20 Agustus 2020 07:47 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Akun Twitter milik pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia atau UI, Pandu Riono diduga diretas. Pada Rabu petang 19 Agustus 2020, akun pribadinya @drpriono tiba-tiba mengunggah dua foto. Isi narasi dalam cuitan tersebut mengandung kalimat seperti 'mamah muda' dan 'mamah kedua'.
Saat dikonfirmasi, Pandu membenarkan peretasan tersebut. "Ya," kata dia, Rabu petang, 19 Agustus 2020.
Pantauan Tempo pada akun Twitter @drpriono, dua cuitan terakhir yang diduga diretas berisi keterangan Twitter Web App di bawah tulisannya. Sementara cuitan-cuitan dia sebelumnya atau setidaknya pada 10 cuitan terakhir, tertulis keterangan Twitter for Android. Pada Kamis pagi, 20 Agustus 2020, cuitan yang diretas ini sudah dihapus.
Selama ini, Pandu yang merupakan pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI ini kera[ mengkritik pemerintah dalam penanganan wabah Covid-19. Berikut 5 di antara kritik Pandu tersebut.
1. Ragukan Obat Covid-19 Buatan Unair, TNI, dan BIN
Pandu mengatakan bahwa obat Covid-19 buatan Unair dan BIN tersebut belum diregistrasi uji klinis Badan Kesehatan Dunia atau WHO.
Sementara menurut dia, terdapat persyaratan uji klinis obat yang sesuai standar internasional dan harus diregistrasi uji klinis oleh WHO. Jika belum memenuhi syarat itu, Pandu berujar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bisa menolak pengajuan izin edar dan produksi obat kombinasi Covid-19.
“Masih perlu di-review apakah semua prosedur sudah dijalankan, dan review tingkat validitasnya,” kata Pandu kepada Tempo, Senin, 17 Agustus 2020.
Selain itu, Pandu menilai seharusnya laporan riset obat kombinasi itu dilaporkan Unair ke BPOM. Bukan ke TNI atau BIN sebagai sponsornya. Langkah Unair disebut tidak sesuai dengan prosedur. “Yang terjadi TNI dan BIN yang mendaftarkan ke BPOM. Aneh, kan?.”
Pandu menilai bahwa sejak awal, riset terkesan ingin mencari jalan pintas, mengabaikan prosedur ilmiah dan didiskusikan masyarakat ilmiah atas nama kedaruratan. “Padahal WHO mensponsori solidarity multi country clinical trials mengikuti semua prosedur,” ujar Pandu.
2. Desak Pemerintah Stop Penggunaan Rapid Test
Pandu mendesak pemerintah menghentikan rapid test dalam penanganan wabah Covid-19. “Stop lah semua rapid test, karena itu tidak perlu,” kata dia dalam diskusi Perspektif Indonesia, Sabtu, 4 Juli 2020.
Pandu mengatakan, rapid test hanya diperlukan untuk melakukan survei serologi untuk mengetahui berapa besar penduduk yang terinfeksi. Rapid test bukan menjadi bagian dari penanggulangan wabah Covid-19.
Menurut Pandu, rapid test hanya memeriksa antibodi atau respons tubuh terhadap adanya virus. Antibodi baru terbentuk sepekan atau 10 hari setelah terinfeksi. Jika hasilnya tidak reaktif bukan berarti tidak terinfeksi. Pun sebaliknya, jika hasil reaktif bukan berarti terinfeksi. “Karena mungkin saja pernah terinfeksi, kemudian ada antibodi,” kata Pandu.
Rapid test, kata Pandu, belakangan dikomersialisasi dengan memanfaatkan kekhawatiran masyarakat sehingga digunakan sebagai syarat bepergian. Dia meminta pemerintah bertindak tegas menghentikan komersialisasi rapid test sebab akan merugikan. “Uang negara yang harusnya bisa meningkatkan testing PCR tapi dipakai beli rapid test,” kata dia.
3. Penggunaan Kata New Normal atau Kenormalan Baru