Pegiat Antikorupsi Beri Tiga Catatan soal RUU Pemasyarakatan
Reporter
Fikri Arigi
Editor
Amirullah
Minggu, 17 Mei 2020 17:07 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan lembaganya menolak Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan (RUU Pemasyarakatan) karena tiga catatan. Salah satunya RUU ini dianggap tidak regresif.
"RUU PAS ini poin krusialnya, menghapuskan PP (Peraturan Pemerintah) Nomor 99 Tahun 2012. Yang mana itu progresif karena membatasi narapidana tindak pidana khusus, korupsi, terorisme, narkotika, untuk dapat pengurangan hukuman dari negara," kata Kurnia dalam diskusi daring yang disiarkan di akun Facebook ICW, Ahad, 17 Mei 2020.
Penolakan terhadap RUU PAS ini, kata Kurnia, berdasarkan tiga catatan. Pertama tidak jelasnya hak pemberian rekreasional. Menurut Kurnia aturan ini tidak dijelaskan dalam RUU tersebut, bahkan Komisi III DPR RI yang menyusun produk legislasi ini menurutnya tidak bisa menjelaskannya.
Berdasarkan pernyataan beberapa anggota Komisi III, kata Kurnia, menyiratkan para anggota dewan tersebut tidak paham soal hak pemberian rekreasional tersebut. Bahkan cenderung serampangan dalam proses, dan sosialisasi antar anggota DPR pun tidak jelas.
Catatan kedua, kata Kurnia, tiadanya klausul yang mengatur soal cuti. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang mengatur cuti-cuti untuk narapidana, di RUU PAS tidak ada pasal terkait itu.
Ketiga, RUU PAS menghapuskan PP 99 Tahun 2012 dan mengembalikan PP 32 tahun 1999. "Di mana tidak ada persyaratan khusus untuk pengurangan hukuman bagi tindak pidana khusus," tuturnya.
Pada PP 99 Tahun 2012, diatur tindak pidana khusus seperti korupsi, terorisme, narkotika, dan kejahatan lintas negara, harus memenuhi beberapa syarat. Salah satunya bersedia menjadi justice collaborator atau membantu membongkar tindak pidana yang dilakukannya.