Haedar Nashir Wanti-wanti Radikalisme Tak Dilihat secara Dangkal

Kamis, 12 Desember 2019 10:26 WIB

Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir. ANTARA FOTO

TEMPO. CO, Yogyakarta-Isu radikalisme tengah mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah saat ini.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir pun merunut sejarah gerakan radikalisme itu saat pengukuhann dirinya sebagai guru besar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Kamis 12 Desember 2019.

Melalui tema Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan dengan Perspektif Sosiologi, Haedar merunut bagaimana paham radikal— dengan kondisi kehidupan Indonesia yang semakin liberal dalam politik, ekonomi, dan budaya setelah dua dasawarsa era reformasi.

Haedar merujuk pada konsep dan istilah awal radikal yang pertama kali diperkenalkan oleh Charles James Fox tahun 1797 yang mendeklarasikan reformasi radikal dalam sistem pemilihan dan politik parlemen Inggris.

"Liberalisasi kehidupan kebangsaan setelah reformasi itu sesungguhnya radikal yang berada di balik Neoliberalisme dan Neokapitalisme yang mengancam Indonesia dan bertentangan dengan eksistensi NKRI yang diproklamasikan dan merdeka tahun 1945," ujarnya.

Advertising
Advertising

Haedar mengatakan setelah empat kali amandemen UUD 1945 banyak aspek mendasar mengalami perubahan yang esktrem seperti keberadaan MPR yang tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara, pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang sangat liberal.

Demokratisasi pasal 33 yang mengandung unsur masuknya kepentingan kapitalisme, hilangnya kata Indonesia aseli dalam persyaratan menjadi Presiden, otonomi daerah yang menyerupai federasi, dan hal-hal lain yang memunculkan reaksi balik untuk kembali ke UUD 1945 yang aseli dan respons kontroversi lainnya.

Demikian pula dengan praktik hegemoni penguasaan negara dan kekayaan alam Indonesia oleh segelintir pihak yang berselingkuh dengan politik oligarki yang sangat merugikan hajat hidup rakyat serta masa depan Indonesia.

"Persoalan kebangsaan yang demikian juga tidak terbebas dari tarikan radikalisme dan ekstremisme dalam ranah keindonesiaan yang kompleks," ujarnya.

Karenanya, ujar Haedar, masalah radikalisme sebagaimana pada banyak masalah krusial di Indonesia mutakhir meniscayakan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh agar tidak terjebak pada kedangkalan cara pandang dan langkah yang diambil dalam mengatasinya.

Menurutnya, pemahaman terhadap radikalisme dan persoalan-persoalan keindonesiaan meniscayakan pendekatan dan pemikiran yang komprehensif dan mendalam, antara lain melalui perspektif sosiologi.

"Dalam memahami radikalisme dalam konteks Indonesia dan keindonesiaan perlu pembacaan dan analisis yang multiperspektif serta sangat tidak memadai bila dicandra hanya dengan pandangan yang linier dan positivistik," katanya.

Haedar menyebut kajian-kajian berdasar survei yang marak di Indonesia pasca reformasi seputar politik, keragaman atau pluralisme, radikalisme, terorisme, dan persoalan atau isu lainnya yang sering disebut sebagai masalah Indonesia tentu membantu memahami keindonesiaan dan bermanfaat untuk banyak kepentingan membangun Indonesia.

Namun, ia mengingatkan, pentingnya memberi catatan kritis atas kajian survei tersebut lebih lebih dikonstruksi secara dangkal, linier, dan parsial karena tidak akan memadai dalam membaca dan menjelaskan Indonsia dengan keindonesiaannya yang kompleks.

Haedar khawatir bersamaan dengan hasil-hasil survei yang terbatas itu jika dipahami secara mutlak dan tunggal maka akan melahirkan bias pemahaman tentang Indonesia dan keindonesiaan di era mutakhir, yang kemudian dapat membangun cara pandang yang melahirkan kebijakan yang tidak tepat seperti dalam menghadapi masalah radikalisme akhir-akhir ini.

"Karenanya dapat dipahami adanya kontroversi tentang konsep radikalisme yang menjadi wacana publik di Indonesia terakhir karena masih membawa muatan pandangan dan pelekatan yang ambigu, dengan kecenderungan mengaitkan radikalisme pada sebatas radikalisme agama atau lebih khusus lagi radikalisme Islam," ujarnya.

Kontroversi itu, ujar Haedar, tentu bukan pada persoalan setuju dan tidak setuju dalam menghadapi radikalisme tetapi lebih pada perdebatan tentang konsep, pemikiran, sasaran atau objek, cakupan, strategi atau cara, serta kebijakan tentang radikalisme di Indonesia.

"Tetapi lebih pada bagaimana masalah radikalisme dikaji dan dikonstruksi secara menyeluruh dengan sudut pandang yang mendalam dan multi-perspektif, yang dapat didialogkan dalam kehidupan kebangsaan yang menjujung tinggi tradisi musyawarah sebagaimana spirit sila keempat Pancasila," ujarnya.

PRIBADI WICAKSONO

Berita terkait

Timnas U-23 Kalah dari Irak, Ketua Umum PP Muhammadiyah: Seperti Politik, Kalah Menang Biasa

14 jam lalu

Timnas U-23 Kalah dari Irak, Ketua Umum PP Muhammadiyah: Seperti Politik, Kalah Menang Biasa

Haedar Nashir berpesan kepada punggawa Timnas U-23 dan para pendukungnya menyikapi kekalahan itu dengan bijaksana.

Baca Selengkapnya

Timnas U-23 Gagal ke Final, Haedar Nashir: Pahlawan Bangsa Tanpa Mahkota Juara

3 hari lalu

Timnas U-23 Gagal ke Final, Haedar Nashir: Pahlawan Bangsa Tanpa Mahkota Juara

Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan publik sebaiknya belajar cara berjuang kolektif bersama Timnas U-23.

Baca Selengkapnya

Pesan Haedar Nashir untuk 4 Kader Muhammadiyah yang Bela Skuat Timnas U-23

5 hari lalu

Pesan Haedar Nashir untuk 4 Kader Muhammadiyah yang Bela Skuat Timnas U-23

Ada empat kader Muhammadiyah yang saat ini sedang membela skuat Timnas U-23, salah satunya Rizky Ridho.

Baca Selengkapnya

Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir Ungkap Inspirasi Penting dari Keberhasilan Timnas U-23 Indonesia Lolos ke Semifinal Piala Asia U-23 2024

7 hari lalu

Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir Ungkap Inspirasi Penting dari Keberhasilan Timnas U-23 Indonesia Lolos ke Semifinal Piala Asia U-23 2024

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir memberi selamat kepada Timnas U-23 Indonesia yang lolos ke semifinal Piala Asia U-23 2024.

Baca Selengkapnya

Tanggapan Demokrat dan Muhammadiyah Soal Kabinet Prabowo-Gibran

9 hari lalu

Tanggapan Demokrat dan Muhammadiyah Soal Kabinet Prabowo-Gibran

Muhammadiyah menyatakan belum ada pembahasan soal formasi kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran.

Baca Selengkapnya

Respons PBNU dan Muhammadiyah terhadap Putusan MK

10 hari lalu

Respons PBNU dan Muhammadiyah terhadap Putusan MK

Haedar Nashir puji Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud yang menerima hasil putusan MK.

Baca Selengkapnya

BINUS University Kukuhkan Prof. Ngatindriatun Sebagai Guru Besar, Gagas Smart Farming 5.0

15 hari lalu

BINUS University Kukuhkan Prof. Ngatindriatun Sebagai Guru Besar, Gagas Smart Farming 5.0

Kegiatan tridharma perguruan tinggi dalam ketahanan pangan khususnya pengembangan Smart Farming 5.0 harus menyatukan keilmuan multidisipliner klaster ekonomi, pertanian dan teknik.

Baca Selengkapnya

Tersangka Penyerang Gereja Sydney Tidak Menunjukkan Tanda-tanda Radikalisme

16 hari lalu

Tersangka Penyerang Gereja Sydney Tidak Menunjukkan Tanda-tanda Radikalisme

Ayah remaja yang ditangkap karena menikam seorang uskup di Sydney tidak melihat tanda-tanda radikalisme pada putranya.

Baca Selengkapnya

Muhammadiyah Beberkan Alasan Tetapkan Idulfitri Lebih Awal

26 hari lalu

Muhammadiyah Beberkan Alasan Tetapkan Idulfitri Lebih Awal

Menurut Haedar, maklumat yang disampaikan Muhammadiyah lebih awal tak bermaksud mendahului pihak tertentu dalam penentuan Idulfitri.

Baca Selengkapnya

Beda Sikap PBNU dan Muhammadiyah Soal Jemaah Aolia yang Rayakan Idulfitri Duluan

26 hari lalu

Beda Sikap PBNU dan Muhammadiyah Soal Jemaah Aolia yang Rayakan Idulfitri Duluan

Reaksi PBNU dan Muhammadiyah tentang video pernyataan imam masjid Aolia yang menetapkan Idulfitri setelah ia 'menelepon' Allah SWT.

Baca Selengkapnya