Pasal-pasal Revisi UU KPK yang Potensial Lemahkan KPK
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Syailendra Persada
Jumat, 20 September 2019 06:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan DPR telah mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau revisi UU KPK. Padahal elemen masyarakat sudah banyak yang menolak perubahan undang-undang itu.
Pemerintah dan Dewan mengklaim revisi ini untuk menguatkan kelembagaan KPK, bukan melemahkan seperti yang menjadi anggapan banyak pihak yang menolak revisi.
"Tidak ada sedikitpun pelemahan, justru penyempurnaan," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 18 September 2019.
Namun apakah benar revisi UU KPK menguatkan kelembagaan lembaga antikorupsi tersebut? Sejumlah pasal dalam UU hasil revisi justru berpotensi membuat kelembagaan KPK dan upaya pemberantasan korupsi makin lemah. Berikut rinciannya:
1. Korupsi kini dianggap sebagai perkara biasa, bukan extraordinary crime
Dalam Pasal 46 UU KPK yang lama disebutkan bahwa pemeriksaan tersangka oleh KPK merujuk pada ketentuan UU KPK. Namun dalam UU baru, pasal itu diubah dan pemeriksaan tersangka merujuk pada ketentuan yang ada di kitab hukum acara pidana.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, perubahan itu menyebabkan UU KPK kehilangan status sebagai aturan yang berlaku khusus. Dampaknya, tindak pidana korupsi hukum acaranya sama dengan tindak pidana biasa. "Korupsi menjadi dianggap perkara biasa, bukan extraordinary lagi," kata Fickar.
2. Kewenangan pimpinan KPK dibatasi
Dalam Pasal 21 ayat (4) dan (6) UU KPK yang lama, pimpinan KPK merupakan penanggung jawab tertinggi yang berwenang menerbitkan surat perintah penyelidikan, penyidikan, penahanan, penuntutan, dan penangkapan. Namun dalam UU baru kewenangan pimpinan sebagai penanggung jawab tertinggi, penyidik, dan penuntut umum dihapus. Di UU yang baru, hampir semua kewenangan pimpinan KPK diambil alih oleh dewan pengawas.
3. Kewenangan menggeledah, menyita, dan menyadap dipangkas
Merujuk Pasal 47 UU KPK yang baru, kewenangan menggeledah dan menyita harus melalui izin dewan pengawas. Pasal 12B mengatur penyadapan juga harus melalui izin tertulis dewan pengawas. Jangka waktu penyadapan dibatasi hanya selama 1x6 bulan dan dapat diperpanjang 1x6 bulan.
<!--more-->
4. Kewenangan merekrut penyelidik independen dihilangkan
Pasal 43 UU KPK baru mengatur bahwa penyelidik KPK dapat berasal dari kepolisian, kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK. Namun Pasal 43A menyebutkan penyelidik tersebut harus lulus pendidikan di tingkat penyelidikan. Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, pembinaan terhadap penyelidik dan penyidik pegawai negeri sipil berada di bawah naungan kepolisian.
5. Pegawai KPK tunduk pada UU ASN
Pasal 24 UU KPK yang baru menetapkan status kepegawaian KPK harus aparatur sipil negara (ASN). Hal ini dinilai akan mengganggu independensi pegawai KPK.
"Ini mendegradasi KPK dari lembaga independen menjadi lembaga di bawah pemerintah, sebagai pegawai negeri atau ASN yang berada di bawah garis komando subordinasi," kata pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar.
6. Peran dewan pengawas terlalu dominan
Keberadaan dewan pengawas dinilai akan mendominasi dan mengganggu independensi KPK. Wewenang dewan pengawas juga bukan cuma mengawasi dan mengevaluasi, tetapi masuk dalam keseharian teknis penanganan perkara. Peran dewan pengawas ini tertuang dalam Pasal 37B.
"Dewan pengawas ini pemborosan, tak efektif, dan bisa menjadi alat intervensi," kata Abdul Fickar Hadjar.
7. Kewenangan menerbitkan SP3
UU KPK yang baru mengatur kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan apabila penyidikan dan penuntutan suatu perkara tak selesai dalam jangka waktu 2 tahun. Aturan ini ada di Pasal 40 UU KPK hasil revisi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana menilai aturan ini diskriminatif dengan UU Kepolisian dan Kejaksaan. UU Kepolisian, misalnya, tak mengatur batas waktu tertentu dalam penghentian penyidikan. Pembatasan hanya berdasarkan kadaluwarsa perkara sesuai dengan ancaman hukuman.
8. Perkara korupsi yang sedang ditangani bisa tiba-tiba berhenti
UU KPK ini langsung berlaku setelah diundangkan. Akibatnya, penanganan perkara yang saat ini tengah berlangsung di komisi antikorupsi bisa tiba-tiba berhenti dengan berlakunya UU ini. Padahal, saat ini KPK masih menangani sejumlah kasus korupsi seperti e-KTP, Bank Century, BLBI, Pelindo II, dan sebagainya.