PDIP Serukan Amandemen Terbatas UUD, Pakar: Langkah Mundur
Reporter
Friski Riana
Editor
Syailendra Persada
Minggu, 11 Agustus 2019 16:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, menilai wacana PDIP untuk melakukan amandemen terbatas UUD 1945 sebagai langkah mundur. "Saya kira kajian PDIP kurang mendalam, tidak melihat sejarah, tidak melihat perbandingan dengan negara lain, dan bagaimana sistem presidensil yang efektif," kata Bivitri kepada Tempo, Ahad, 11 Agustus 2019.
PDIP sebelumnya mendorong perubahan terbatas untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Bivitri menilai, kalau MPR diletakkan sebagai lembaga negara tertinggi akan merusak sistem presidensil yang diterapkan setelah amandemen UUD 1945.
Sejak diamandemen empat kali pada 1999-2002, konstitusi sudah mengubah struktur ketatanegaraan. Sehingga, tidak ada lagi lembaga tertinggi seperti MPR, dan Indonesia kini sudah menganut sistem presidensil yang lebih efektif.
Dengan konstruksi saat ini, Bivitri mengatakan tidak adanya lembaga tertinggi membuat proses check and balance lebih baik. Sebab, dalam sistem presidensil, semua lembaga berada dalam tingkat yang setara.
"Apakah presiden paling tinggi? Tidak juga. Kan check and balance DPR dan DPD memiliki sistem yang memungkinkan mereka megawasi kinerja presiden," ujarnya.
Menurut Bivitri, tak masuk akal jika GBHN didengungkan kembali karena Indonesia tak memiliki arah. Pasalnya, sudah ada Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang berisi visi 20 tahun. Undang-undang tersebut, kata Bivitri, serupa bahkan lebih baik dari GBHN.
Dari segi isi, SPPN memiliki indikator keberhasilan dan jelas targetnya, karena berisi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (20 tahun), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (5 tahun), Rencana Kerja Pemerintah (1 tahun). "Anak muda kalau baca GBHN itu terlihat bahwa GBHN ngawang-ngawang banget, berbunga-bunga, enggak ada maknanya," kata dia.
Adapun dari segi proses, SPPN lebih partisipatif karena melibatkan masyarakat dari tingkat desa hingga kota melalui musrenbang atau musyawarah rencana pembangunan. Lembaga yang memiliki mandat untuk merumuskannya adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Sedangkan GBHN ditentukan oleh elite MPR yang jumlahnya saat ini 692 orang. Jumlah yang lebih sedikit dibandingkan total penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa. "Karena MPR lembaga politik, bukan lembaga teknokratik," kata Bivitri.