Gestur terdakwa mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir saat mengikuti sidang perdana kasus dugaan suap pembangunan PLTU Riau-1 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 24 Juni 2019. Dalam kasus tersebut, Sofyan didakwa telah membantu transaksi berupa pemberian uang suap Rp 4,7 miliar kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus Marham. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta-Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan peran mantan Direktur Perencaan Korporat PT Perusahaan Listrik Negara Nicke Widayawati dalam rasuah proyek PLTU Riau-1 yang menjerat Sofyan Basir menjadi terdakwa. Menurut KPK, Nicke pernah mendapatkan arahan dari bosnya di PLN tersebut menyangkut proyek ini.
Jaksa mengatakan Sofyan meminta perempuan yang kini menjabat Direktur Utama PT Pertamina itu untuk tetap mencantumkan proyek PLTU Riau-1 di dalam Rencana Usaha Pengadaan Tenaga Listrik 2017-2026. Permintaan itu awalnya datang dari Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Eni Maulani Saragih dan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.
"Terdakwa meminta Nicke Widyawati untuk menindaklanjuti permintaan tersebut," kata jaksa KPK, Budhi Sarumpaet, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 24 Juni 2019.
Budhi menuturkan permintaan itu disampaikan Sofyan dalam sebuah pertemuan di Hotel Fairmont, Jakarta pada 2017. Sofyan, kata dia, mengajak Nicke dan Direktur Pengadaan Strategis 2 PLN Supangkat Iwan Santoso datang bertemu dengan Eni dan Kotjo di hotel itu.
Dalam pertemuan tersebut, Eni dan Kotjo meminta Sofyan supaya tetap mencantumkan proyek PLTU Riau-1 dalam RUPTL. Sofyan kemudian menyuruh anak buahnya menindaklanjuti permintaan kedua orang itu.
Nicke telah diperiksa sebanyak dua kali sebagai saksi dalam penyidikan kasus mantan bosnya. Seusai diperiksa, Nicke mengatakan ditanya soal jabatannya dan soal RUPTL.
Kotjo adalah pemilik saham Blackgold Natural Resources Ltd. Pengusaha yang pernah masuk daftar orang terkaya Indonesia ini mewakili sejumlah perusahaan untuk mendapatkan proyek pembangkit di Indonesia. Kotjo mendapatkan imbalan 2,5 persen dari total nilai proyek yang dia dapatkan.
Melalui Eni, ia melobi pihak PLN supaya perusahaan yang ia wakilkan mendapatkan proyek PLTU. Untuk dapat bantuan itu, Kotjo menyuap Eni Rp 4,75 miliar. Kotjo divonis bersalah dan dihukum 4,5 tahun di tingkat banding. Sementara Eni dihukum 6 tahun penjara.
Adapun Sofyan didakwa telah membantu Eni menerima uang suap itu. Sofyan, kata KPK, telah memfasilitasi pertemuan antara Eni, Kotjo dan belakangan Sekretaris Jenderal Idrus Marham untuk bertemu dengan jajaran direktur PLN. Pertemuan itu dilakukan untuk mempercepat tercapainya kesepakatan rencana proyek PLTU Riau-1. Padahal Sofyan mengetahui bahwa Eni dan Idrus bakal menerima suap dari Kotjo bila berhasil mendapat proyek PLTU Riau.
Atas dakwaan itu, Sofyan Basir mengajukan keberatan atau ekspsi. Pengacara Sofyan, Soesilo Aribowo mengatakan salah satu poin keberatan adalah jaksa gagal membuktikan Sofyan membantu Eni memperoleh duit suap. Sebab, kliennya memfasilitasi pertemuan-pertemuan setelah Eni mendapatkan janji suap dari Kotjo. "Dakwaan atas nama Sofyan Basir disusun secara tidak cermat, tidak lengkap dan tidak jelas,” kata Soesilo.